Opini

Terorisme dalam Sekam

NU Online  ·  Jumat, 11 Mei 2018 | 09:45 WIB

Terorisme dalam Sekam

Ilustrasi (pixabay.com)

Oleh Fathoni Ahmad

“Ideologi tidak akan mati”. Adagium tersebut barangkali tepat untuk menggambarkan peristiwa mencekam dan berujung tragedi yang dilakukan oleh narapidana teroris (napiter) di rumah tahanan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Selasa-Kamis (8-10/5/2018). Mereka membuat kerusuhan dan menyandera polisi dengan senjata tajam bahkan senjata api yang berujung 5 orang polisi tewas mengenaskan di tangan para napiter tersebut.

Seketika, masyarakat Indonesia geram, marah meskipun tidak sedikit juga yang menyatakan perasaan bingungnya terhadap pemerintah yang seolah hanya ‘menernak’ para teroris di dalam tahanan. Dalam konteks ‘menernak’ itu, mestinya segala sesuatu menjadi jinak bahkan nurut. Sebab itulah pentingnya usaha deradikalisasi yang konon selama ini sudah dilakukan pemerintah.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Para napiter bertambah beringas dengan kasus di Mako Brimob tersebut. Upaya deradikalisasi justru menjadi semacam menanam api dalam sekam dengan para pelaku teror yang mendiami sekam tersebut. Tidak sedikit pun mereka bergeser dari pemahaman ekstrem jihadisnya. Maka dari itu, muncul kegelisahan masyarakat sehingga mereka tidak segan-segan mengatakan, ideologi itu akan mati jika orangnya juga mati.

Artinya, dari kejadian mencekam selama 36 jam dimana Rutan Mako Brimob Kelapa Dua dikendalikan oleh teroris yang berujung tewasnya lima polisi, masyarakat menuntut hukuman setegas-tegasnya untuk para pelaku teror tersebut. “Jangan biarkan mereka bebas menghirup udara segar”, “otaknya sudah tercuci dengan jihad-jihad sadis”, “ideologi mereka tidak akan pernah berubah”. Itulah beberapa pernyataan tegas dan lugas dari sejumlah kawan penulis saat menanggapi kasus di Mako Brimob Kelapa Dua.

Tuntutan masyarakat akan ketegasan pemerintah tersebut bukan tanpa alasan. Sebab faktanya, dedengkot jihadis ekstrem macam Aman Abdurrahman, Bahrun Naim, dan lain-lain bisa mengendalikan aksi-aksi teror yang terjadi di lapangan hanya cukup dari ruang tahanan. Dari fakta tersebut, muncul pertanyaan besar, apakah pemerintah dalam hal ini polisi hanya sedang menanam api dalam sekam? Di mana hanya menunggu beberapa saat saja untuk meledak dan melukai banyak orang bahkan dalam posisi napiter ada di lingkungan rumah tahanan seperti yang terjadi di Mako Brimob.

Rekonstruksi UU Terorisme

Terkait proses hukum, tentu harus dilihat dari Undang-Undang yang berlaku saat ini. UU Terorisme yang mengondisikan polisi bertindak ketika terjadi aksi nyata terorisme di lapangan tentu hanya memunculkan banyak korban jiwa warga tak berdosa sebab pemerintah terkesan lamban. Sebab itu, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi yang punya perhatian tegas dalam menyikapi radikalisme dan terorisme berupaya mendorong pemerintah merevisi UU Terorisme tersebut dalam forum tertingginya seperti Muktamar dan Munas.

Untuk menyikapi tegas terorisme yang masuk dalam kategori kejahatan global yang luar biasa (global extraordinary crime), mestinya pemerintah tidak terpenjara oleh UU. Karena dalam sudut pandang hukum, mereka bisa menggunakan diskresi, keputusan yang harus dilakukan di lapangan sesuai situasi dan kondisi. Namun, tanpa menggunakan diskresi pun, tindakan terorisme harus ditumpas tuntas. Sebab, sel-sel ganas teroris terus menjalar dan mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan dalih-dalih agama sempit sebagai senjata tajam dalam bentuk lain.

Pemahaman-pemahaman keagamaan yang melenceng ini alat ukurnya jelas dan rasional. Tanpa harus mengeliminir pendapat mereka tentang sejumlah konsep beragama, sisi kemanusiaan cukup untuk men-judge para ekstremis sebagai kelompok manusia bengis dan keji. Bagaimana tidak? Mereka menghalalkan darah setiap orang atau kelompok yang berbeda pandangan dengannya. Memaknai istilah jihad hanya dalam tataran jihad qital (perang), merasa sebagai wakil Tuhan untuk menegakkan agama di bumi Allah dengan cara apapun.

Garis Tebal Gerakan Terorisme

Ada garis tebal melintang jelas terhadap perjuangan mereka yang selama ini menumbuhsuburkan radikalisme yang berujung terorisme. Apa itu? Penegakkan Ad-Daulatul Islamiyyah atau pendirian negara Islam. Di Timur Tengah, kelompok ini bernama Islamic State in Iraq and Syam (ISIS). Sedangkan di Indonesia, penegakkan Daulah Islamiyah berusaha dilakukan oleh kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang keberadaannya sudah dilarang di Republik ini. Meskipun Hizbut Tahrir sendiri merupakan gerakan politik transnasional yang membawa simbol-simbol Islam secara sempit.

Secara umum, kelompok-kelompok ekstrem dan radikal menumbuhkan radikalisme. Gerakan-gerakan radikal ini menyusup, menjalar, dan menyebar melalui politik, dakwah, dan pemikiran. Akar persoalan mendasarnya diawali dengan indoktrinasi ideologi yang diperjuangkan secara nyata dalam medan politik dan dakwah.

Jika digambarkan secara jelas, radikalisme menurut pemahaman penulis bisa dibagi menjadi tiga: bertindak secara radikal (melakukan teror), radikalisme pemikiran, dan radikalisme secara pemahaman. Konteks Indonesia sendiri, saat ini eskalasi penguatan radikalisme ada pada semua aspek, baik pemikiran atau pemahaman, dakwah, dan politik. Yang jelas, muara dari semua itu adalah tindakan teror.

Pemahaman Melenceng

Kelompok-kelompok radikal yang melakukan teror dan berupaya mendirikan Daulah Islamiyah ini juga banyak memahami nash al-Qur’an dan hadits secara srampangan untuk melegitimasi gerakan-gerakan mereka di ruang publik. Seperti beberapa hadits yang diungkap Najih Ramadhan dalam bukunya Bid’ah Ideologi ISIS (2017). Najih mengungkap juru bicara ISIS Abu Muhammad al-‘Adnani yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang yang diutus untuk mengemban pedang sebagai Rahmat bagi alam semesta.

Al-'Adnani mendasarkan pendapatnya itu pada sebuah hadits berikut: Nabi SAW bersabda, “Aku diutus dengan pedang, menjelang datangnya hari kiamat, sampai Allah disembah secara esa bayang-bayang busurku dan akan ditimpakkan kehinaan dan kerendahan atas orang yang menyalahi aturanku, dan barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia merupakan bagian dari mereka.” (HR Ahmad dalam al-Musnad dari Ibnu Umar dan dijadikan Shahid oleh al-Bukhori)

Hadits di atas bukan hanya dieksploitir untuk melegalkan aksi keji mereka, tetapi mereka juga tidak berupaya memahami konteks diturunkannya (asbabul wurud) hadits tersebut. Di titik ini, ISIS atau kelompok ekstrem sejenis hanya menghadirkan ayat-ayat pedang atau perang, padahal ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits yang menyatakan bahwa Islam adalah agama kedamaian, rahmat, dan toleran tidak kalah banyaknya. Lantas, mengapa mereka hanya memilih ayat-ayat qital dalam memanifestasikan keagamaan mereka?

Berikut penggalan sebuah hadits yang juga digunakan sebagai dasar pendirian khilafah: Ismail ibn Ja’far al-Madini bercerita kepada kami, Abdullah ibn Dinar bercerita kepada kami, dari Ibnu Umar ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “...setiap kalian adalah pemimpin dan setiap akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”

Dalam memahami hadits tersebut, ISIS menyatakan bahwa konstruksi kepemimpinan (ra’i) yang dimaksud dalam hadits tersebut yang pemaknaannya terkait dengan QS Al-Baqarah ayat 124 dan QS An-Nur ayat 55 tentang janji Allah yang akan menyerahkan kepemimpinan kepada hambanya yang shaleh, adalah mencakup kepemimpinan politik dan agama. Konsekwensinya, hadits ini berisi kewajiban dan tanggung jawab untuk mendirikan khilafah (imamah al-kubra) bagi pihak yang mampu menjalankan syariat.

Lalu hadits tentang jihad. ISIS menyitir hadits dengan pemahaman yang sangat politis tentang jihad: Muhammad ibn Abdurrahman ibn Sahm al-Antaki bercerita kepada saya, Abdullah ibn al-Mubarok bercerita kepada saya, dari Wahab al-Makki, dari Umar ibn Muhammad al-Munkadir, dari Sumayya, dari Abi Salih, dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Seseorang yang mati tanpa berjihad dan tidak pernah bernita untuk berjihad sama sekali, maka dia mati dalam cabang kemunafikan.”

Jelas sekali ISIS memahami makna jihad dalam hadits di atas sebagai perang, penaklukkan, dan penguasaan secara politis. ISIS maupun kelompok-kelompok pengusung khilafah Islamiyah tidak melakukan rekonstruksi pemahaman hadits sesuai kontekstualisasi zaman. Padahal, prinsip Islam ialah kebermanfaatan bagi seluruh umat sehingga keliru jika memaknai jihad sebagai perang fisik (qital). Sebab setiap upaya menebarkan kebaikan sesama manusia itulah jihad dalam beragama.

Dalam hal konsep bernegara, salah seorang tokoh NU Almaghfurlah KH Ahmad Hasyim Muzadi (2016) mendorong umat Islam untuk memahami kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan besar. Dalam sejarah, Rasulullah tidak pernah mendirikan negara Islam, tetapi negara yang mendasarkan diri pada kesepakatan bersama (konsensus) yang mewujud Piagam Madinah.

Catatan sejarah yang banyak dijelaskan dalam riwayat-riwayat kitab-kitab klasik tersebut telah dipahami oleh kiai-kiai di kalangan pesantren sebagai dasar meracik Pancasila bersama organisasi Islam lainnya dan para nasionalis. Memahami peristiwa Piagam Madinah, belajar ilmu agama Islam tidak hanya fiqih, ushul fiqih, tafsir, tasawuf, dan lain-lain, tetapi juga tarikh atau sejarah.

Dalam konteks sejarah inilah peristiwa Rasulullah menyusun Piagam Madinah perlu dipahami oleh seluruh umat Islam di dunia. Sebab, penegakkan Islam yang dilakukan oleh Nabi Muhammad bukan memformalisasikannya ke dalam bentuk negara, tetapi menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari. #KamiBersamaPOLRI

Penulis adalah Tim Taskforce Islam Nusantara dalam upaya Countering Violent Extremism (CVE) (2015)