Opini

Sarbumusi: dari Pabrik Gula, Terali Besi Orde Baru hingga Konfederasi Gerakan

NU Online  ·  Kamis, 1 Mei 2025 | 11:00 WIB

Sarbumusi: dari Pabrik Gula, Terali Besi Orde Baru hingga Konfederasi Gerakan

Ilustrasi Sarbumusi memperjuangkan hak-hak kaum buruh Indonesia (Foto: NU Online)

Setiap 1 Mei kita kembali diingatkan tentang pilar penyangga bangunan utama ekonomi dunia, yakni kaum buruh. Bekerja dari pagi hingga larut. Dari pabrik hingga pelabuhan. Dari kebun dan sawah hingga layanan online. Namun ironisnya, suara mereka justru seringkali dikecilkan oleh negara, disepelekan pasar, dan seringkali dilupakan dalam perjuangan gerakan keagamaan.


Padahal sejarah gerakan buruh di Indonesia tidak steril dari agama. Salah satunya bisa dilihat dari kiprah Sarbumusi (Serikat Buruh Muslimin Indonesia), organisasi buruh didirikan Nahdlatul Ulama dan menjadi bagian dari ekosistem gerakan buruh global. 


Dalam sejarahnya, Sarbumusi bukan sekadar mengimbangi hegemoninya SOBSI yang berafiliasi dengan PKI, melainkan juga bentuk artikulasi kelas pekerja yang menginginkan perubahan dilandasi nilai-nilai Islam Ahlusunnah wal Jamaah.


Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) organisasi buruh berbasis keagamaan bagian dari Nahdlatul Ulama (NU). Sarbumusi lahir pada 27 September 1955 di Pabrik Gula Tulangan (Sidoarjo) atas rekomendasi Muktamar NU ke-20 tahun 1954 di Surabaya. 


Organisasi ini didirikan sebagai badan otonom NU menyuarakan aspirasi buruh dan “memberi perlindungan kepada kaum buruh” dalam kerangka nilai-nilai Islam. Sejak awal berdiri, Sarbumusi berafiliasi erat dengan Partai NU dan berfungsi sebagai alat politik NU untuk meraih dukungan buruh, terutama guna menandingi kuatnya pengaruh Serikat Buruh SOBSI yang dikendalikan PKI.


Pada tahun 1950-an, Indonesia mengalami polarisasi gerakan buruh berdasarkan orientasi politik dan ideologi. Keberadaan Sarbumusi diposisikan sebagai jembatan bagi “buruh Muslimin” dan anggota NU dalam medan perjuangan ketenagakerjaan. Sarbumusi bahkan terlibat dalam inisiatif serikat buruh internasional; bersama Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (GASBIINDO), Sarbumusi menjadi inisiator berdirinya konfederasi serikat buruh dunia bernama International Confederation of Free Trade Unions (ICFTU) pada akhir 1950-an. 


Partisipasi ini mencerminkan upaya Sarbumusi memperluas pengaruhnya sekaligus menunjukkan komitmennya pada prinsip kebebasan berserikat dan nilai-nilai demokrasi ketenagakerjaan. 


Dalam konteks awal Republik, Sarbumusi tumbuh cukup cepat, Pemilu 1971 Sarbumusi mencatatkan keanggotaan sekitar 2,5 juta orang buruh. Jumlah besar ini menjadikan Sarbumusi kontributor penting suara politik bagi Partai NU (kemudian fusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan), sehingga mampu menandingi Golkar sebagai mesin politik pemerintah Orde Baru.


Sarbumusi dalam Dinamika Kekuasaan
Perjalanan Sarbumusi tak lepas dari pusaran politik nasional. Di era Orde Lama (1950-1965), Sarbumusi sebagai sayap NU aktif memperjuangkan program keagamaan dan keadilan sosial di kalangan kaum buruh. Sarbumusi aktif mereduksi pengaruh PKI setelah peristiwa G30S pada 1965. Pada masa ini Sarbumusi menonjol sebagai “organisasi buruh yang paling mampu mengimbangi pengaruh gerakan buruh SOBSI yang berafiliasi pada PKI”. 


Dengan dukungan luas melalui kampanye anti-komunis didukung kekuatan militer, Sarbumusi ikut andil membentuk rezim baru dengan aspirasi bahwa buruh Nahdliyin harus diutamakan dalam pembangunan ekonomi.


Sejak awal berperan sebagai sayap politik NU, maka dalam pemilu Orde Lama, suara besar anggota Sarbumusi diarahkan ke Partai NU. Misalnya, pada Pemilu 1971 Sarbumusi dengan 2,5 juta anggotanya menjadi kontributor suara signifikan bagi Partai NU sehingga mampu menandingi Golkar, pesaing utama rezim Orde Baru. 


Dengan posisi yang begitu kuat, menjadikan Sarbumusi memainkan peran sebagai “pengawas internal” bagi NU di parlemen; representasi suara kaum buruh Nahdliyin dihimpun untuk menentukan agenda politik dan sosial Nahdlatul Ulama. Di sisi lain, keterikatan erat antara serikat dan partai politik membuat gerakan buruh sulit bersatu lintas garis ideologi. Organisasi buruh terpecah, masing-masing berafiliasi pada kekuatan politiknya (SOBSI-PKI, Serikat Buruh Islam Masyumi, Sarbumusi-NU, dll), sehingga kemampuan tawar-menawar buruh kepada pemerintah dan pengusaha sering terhambat rivalitas politik. 


Peristiwa demi peristiwa tersebut direkam sangat baik oleh Alfanny dalam skripsinya berjudul Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) 1955-1973 di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia (2001).


Represi Orde Baru dan Dampaknya
Dalam skripsinya, Alfanny menjelaskan lika-liku Sarbumusi berubah drastis setelah Orde Baru berkuasa. Rezim militer Soeharto menerapkan kebijakan “penataan ulang” memperketat gerakan sosial-politik, termasuk serikat buruh. 


Pandangan Alfanny sejalan dengan General Secretary ICFTU-APRO Takashi Izumi dalam artikel Trade Union Rights yang menegaskan bahwa pemerintah Orde Baru menolak keras keberadaan banyak konfederasi serikat dan mendorong monopoli Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI), lalu merancang Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) untuk dikendalikan Golkar menggunakan strategi dwifungsi ABRI, di mana struktur organisasi bisa dijabat tentara aktif. 


Sarbumusi sangat kritis dan diperhitungkan kebijakan rezim sekaligus menghadapi tekanan keras. Misalnya, Sarbumusi menentang PHK massal di perusahaan milik negara dan menentang pelarangan pemogokan massal oleh pemerintah Orde Baru, karena kebijakan tersebut dinilai merugikan buruh. 


Menjelang Pemilu 1971 rezim Orde Baru melemahkan lawan politik, termasuk Sarbumusi yang dianggap sebagai ancaman serius bagi Golkar. Pada periode itu, Andree Feillard dalam NU vis a vs Negara (1999) menambahkan, bukan hanya gerakan buruh NU yang jadi sasaran, tapi juga para pengusaha kecil dan menengah NU menderita karena kebijakan masuknya modal asing tahun 1970an.  


Upaya Orde Baru melemahkan Sarbumusi dilakukan dengan membentuk Kokar (Korps Karyawan) dan aturan monoloyalitas aparatur negara, serta usulan penyatuan serikat buruh. Hasilnya, FBSI resmi dibentuk pada 4 Februari 1973 sebagai wadah tunggal buruh. Tanggal 4 Februari dijadikan sebagai Hari Pekerja Indonesia, menggantikan Hari Buruh yang sudah dilarang semenjak 1967. 


Meski serikat lama tidak dibubarkan, rezim memberi hak monopoli pembuatan Perjanjian Kerja Bersama kepada FBSI. Lalu Sarbumusi dianggap tidak lagi loyal kepada Presiden Suharto, akhirnya gagal melawan keberadaan FBSI dan posisi tawarnya kian melemah. Setelah Golkar unggul mutlak dalam Pemilu 1971 dan NU hanya menjadi runner-up, Sarbumusi kehilangan kekuatan dan dukungan politik.


Dampaknya, sebagaimana dilansir laman resmi Sarbumusi, sarikat buruh NU ini “dipaksa mati” oleh rezim Orde Baru. Hanya Serikat Pekerja Sosialis (serikat buruh yang pro-pemerintah) dan FBSI yang diizinkan beroperasi. Sarbumusi yang pernah beranggotakan jutaan orang, pada puncaknya sekitar 1970, mulai tenggelam. Organisasi ini akhirnya terpaksa melebur dalam FBSI di awal 1970-an hingga kehilangan struktur dan otonominya sebagai serikat. 


Selama era ini, Sarbumusi “diganjal” ketat; kebebasan berserikat dibatasi, pengurus Sarbumusi diintervensi, dan ruang ekspresi kaum buruh Nahdliyyin nyaris tertutup. Sarbumusi awalnya berperan penting membendung pengaruh PKI dan mendukung rezim baru berharap agar buruh Nahdliyin diutamakan dalam pembangunan ekonomi akhirnya, kandas. Salah satu sayap buruh paling diperhitungkan karena mampu mengimbangi gerakan komunis dilumpuhkan di balik terali besi kekuasaan.


Kebangkitan Pasca Reformasi
Presiden DPP Konfederasi Sarbumusi, Irham Ali Saifuddin mencatat dalam artikelnya di laman resmi Nahdlatul Ulama (NU Online), bahwa setelah Orde Baru runtuh (Mei 1998), Sarbumusi mengalami kebangkitan kembali seiring liberalisasi politik dan ketenagakerjaan Indonesia. 


Pemerintahan B.J. Habibie menandatangani Keputusan Presiden No. 83/1998 yang meratifikasi Konvensi ILO No. 87 (Kebebasan Berserikat). Ratifikasi tersebut kemudian diimplementasikan ke dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, memberikan landasan hukum kuat bagi eksistensi organisasi buruh independen. Dalam suasana baru ini, organisasi buruh yang sempat terbungkam mulai bangkit.


Angin segar itu langsung dirasakan Sarbumusi. Di Muktamar NU Kediri 1999, Sarbumusi secara resmi dihidupkan kembali sebagai Badan Otonom NU dalam bidang ketenagakerjaan. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bersama pengurus PBNU mengaktifkan kembali struktur Sarbumusi di akar rumput. 


Meski sempat kembali redup dalam beberapa tahun, Sarbumusi direvitalisasi kembali pada Januari 2012 di bawah PBNU KH Said Aqil Siroj. Kantor pusat baru Sarbumusi dibuka di Jalan Raden Saleh, Jakarta, menandai komitmen baru Nahdlatul Ulama.


Reformasi membawa angin segar. Perlu diketahui, bahwa Hari Buruh Internasional, atau May Day, bermula dari perjuangan buruh Amerika Serikat pada akhir abad ke-19, khususnya demonstrasi besar di Chicago pada tanggal 1 Mei 1886 menuntut pemberlakuan jam kerja delapan jam sehari. Aksi tersebut memuncak dalam insiden kekerasan yang dikenal Peristiwa Haymarket, ketika bom meledak dalam demonstrasi damai mengakibatkan kematian sejumlah polisi dan buruh. 


Meskipun awalnya dianggap radikal, gerakan ini kemudian menginspirasi buruh di seluruh dunia, dan pada tahun 1889 dalam Kongres Sosialis Internasional di Paris, menetapkan 1 Mei sebagai hari peringatan perjuangan kelas pekerja secara global. Di Indonesia, Hari Buruh mulai dirayakan sejak masa kolonial, sempat dilarang pada era Orde Baru, dan baru ditetapkan kembali sebagai hari libur nasional pada tahun 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pengakuan atas pentingnya hak-hak buruh dalam demokrasi.


Dalam dekade berikutnya, Sarbumusi bertransformasi menjadi konfederasi. Sejak 2014 organisasi ini menaungi 12 federasi sektoral, termasuk Federasi Buruh Migran yang kemudian dikenal sebagai F-BUMINU SARBUMUSI NU (Federasi Buruh Migran Nusantara SARBUMUSI Nahdlatul Ulama). Hingga kini, Sarbumusi mengklaim jumlah anggota puluhan ribu buruh di seluruh Indonesia (meski angka pasti fluktuatif). 


Prestasi penting pasca-reformasi adalah kemampuannya meraih legalitas dan kemerdekaan struktural: Konvensi ILO 87 telah dikuatkan, Sarbumusi diakui sebagai bagian sah kehidupan perburuhan, dan NU meletakkan landasan keagamaan serta ideologis dalam gerakan buruh.


Tantangan Ekonomi Digital dan Sektor Buruh Informal
Di era globalisasi dan disrupsi teknologi, Sarbumusi menghadapi tantangan baru. Ekonomi digital dan platform daring telah melahirkan bentuk pekerjaan baru yang sifatnya serba fleksibel, tapi rentan. Sebagaimana dikutip Kompas (8 Mei 2024) berjudul Indonesia Masuk Negara yang Memiliki Pekerja Platform Daring Terbanyak, menyebutkan laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO), Indonesia termasuk 15 negara dengan jumlah pekerja platform daring terbesar di dunia, sekitar 1,5% dari total angkatan kerja. 


Para pekerja ojek online (driver aplikasi) dan kurir digital menjadi ilustrasi nyata. Kendati akses masuknya rendah (hanya butuh ponsel pintar), pekerjaan di platform cenderung tidak menjamin keamanan sosial: banyak pekerja tidak tercakup jaminan sosial penuh dan diatur oleh algoritma yang minim transparansi.


Selain itu, sektor informal masih mendominasi perekonomian Indonesia. ILO mencatat banyaknya pekerja non-formal, baik di pedagang kaki lima, rumah tangga, maupun usaha kecil, yang luput dari perlindungan undang-undang ketenagakerjaan. Menghadapi disrupsi ini, ILO menyarankan diperlukan kebijakan ketenagakerjaan yang inklusif dan dialog sosial tripartit (pemerintah, pengusaha, pekerja) mewujudkan pekerjaan layak. Kesenjangan upah antar kelompok informal-formal, serta gap gender dan pengangguran pemuda, menjadi PR utama yang mesti diatasi bersama.


Di sisi lain, perubahan teknologi dan otomatisasi mengancam banyak lapangan kerja tradisional. Studi ILO menunjukkan lebih dari 60% pekerja di sektor manufaktur dan jasa padat karya berisiko tergantikan mesin. Industri garmen, elektronik, bahkan ritel menghadapi gelombang peralihan ke otomatisasi. Jika tidak diimbangi pelatihan keterampilan baru (misalnya data analitik, pemrograman), ribuan buruh berpotensi kehilangan pekerjaan. Kondisi ini menuntut serikat buruh seperti Sarbumusi memperhatikan isu future of work mulai dari pelatihan vokasi hingga kebijakan perlindungan pengangguran dan jaring pengaman sosial. 


Dalam lanskap ketenagakerjaan, Sarbumusi dihadapkan serangkaian tantangan struktural dan ideologis yang tidak bisa dijawab dengan pendekatan lama. Butuh adaptasi. Setidaknya tiga persoalan besar menjadi ujian serius bagi relevansi dan daya juang gerakan serikat buruh ke depan: disrupsi ekonomi digital, keterpinggiran pekerja sektor informal, dan tuntutan hubungan industrial yang baru.


Pertama, disrupsi ekonomi digital telah menciptakan fenomena baru dalam dunia kerja, yakni munculnya jutaan pekerja platform daring dan gig workers yang berada di luar jangkauan perlindungan hukum ketenagakerjaan konvensional. Menurut laporan Kompas.id, Indonesia kini termasuk negara dengan jumlah pekerja platform daring terbanyak di dunia. 


Namun ironisnya, status semu dengan istilah freelancer, bukan karyawan, bukan mitra sejati, menjadikan hak-hak dasar mereka seperti jaminan sosial, upah layak, dan perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja, nyaris tak terjamah. Selain memperkuat buruh pabrik, Sarbumusi harus melampaui dan masuk ke ruang-ruang digital, mengorganisir “yang tak kasat mata”, dan memperjuangkan payung hukum sebagai pengakuan martabat kerja digital sebagai kerja nyata.


Kedua, pekerja sektor informal masih menjadi blind spot dalam sistem perlindungan ketenagakerjaan nasional. Buruh migran, petani, nelayan, pengrajin rumahan, dan pedagang kecil, mereka semua pekerja, namun kerap tidak diakui sebagai subjek dalam narasi buruh. Padahal, lebih dari 60% angkatan kerja Indonesia bekerja di sektor informal. 


Ketika jaminan sosial hanya dinikmati segelintir pekerja formal, Sarbumusi perlu memperluas basis perjuangannya agar benar-benar menjangkau mayoritas kaum pekerja Indonesia. Inklusivitas bukan sekadar slogan, tapi agenda struktural membongkar batas-batas fiktif antara ‘buruh’ dan ‘non-buruh’ dalam kerangka solidaritas kelas pekerja.


Ketiga, model hubungan industrial yang ada saat ini sudah tidak memadai menjawab kompleksitas dunia kerja yang kian fleksibel. Otomatisasi, alih daya (outsourcing), dan fleksibilitas kerja berbasis teknologi menuntut adanya pendekatan baru dalam relasi antara buruh, pengusaha, dan negara. Serikat buruh harus memimpin pembentukan model dialog sosial yang lebih egaliter, partisipatif, dan adaptif terhadap perubahan zaman. Sarbumusi tidak cukup menjalankan fungsi pengawasan dan advokasi, namun juga perlu hadir sebagai aktor aktif dalam merancang kebijakan ketenagakerjaan yang responsif bagi transformasi struktural.


Dalam sejarahnya, Sarbumusi menjadi motor penggerak utama dalam perburuhan di level nasional. Menjadi tantangan serius untuk kembali menegaskan dalam menyusun People’s Labour Agenda bersama serikat buruh lainnya, dengan memperjuangkan penguatan pengawasan ketenagakerjaan, reformasi BPJS Ketenagakerjaan agar lebih transparan, dan pembentukan Pengadilan Ketenagakerjaan yang cepat dan adil. 


Di sini, peran politik NU tidak bisa dilepaskan. NU selalu menegaskan bahwa kesejahteraan buruh adalah syarat stabilitas sosial. Maka, negara yang membiarkan eksploitasi buruh atas nama efisiensi adalah negara yang gagal melindungi amanat konstitusi.


Sebagai konfederasi buruh berbasis nilai keagamaan dan keadilan sosial, Sarbumusi diharapkan menjadi motor penggerak transformasi hubungan industrial. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai prinsipil NU; keadilan (‘adl), gotong-royong (taʿawun), dan kepedulian kepada mustadhʿafīn, gerakan buruh ini tidak hanya membela kepentingan kelas buruh, tetapi juga berkontribusi pada pembangunan masyarakat inklusif dan berkelanjutan. Upaya ini harus didukung dengan menjaring aspirasi, riset khusus, data dan kemampuan komunikasi yang kuat, agar tuntutan buruh dapat diterima luas.


Ringkasnya, Sarbumusi perlu terus meneguhkan identitas Nahdlatul Ulama sebagai pagar hidup perjuangan buruh: bahwa keberpihakan NU pada keadilan sosial bukan sekadar slogan, tetapi fondasi memperjuangkan upah layak, perlindungan sosial, dan kesetaraan di dunia kerja. Dengan begitu, Sarbumusi dapat memainkan peran ganda, sebagai bagian gerakan buruh sekaligus wadah gerakan keagamaan menghadapi gelombang ketidakpastian dan tantangan abad distrupsi.

 

Abi S. Nugroho, pengurus Lakpesdam PBNU