Oleh Muhammad Ishom
Banyak orang memandang sebelah mata terhadap keranjang sampah. Mereka berpikir keranjang sampah adalah tempat kotor karena fungsinya sebagai penampung sampah. Memang benar demikian. Tetapi persoalannya di balik image negatif itu, keranjang sampah sebenarnya bisa bercerita tentang kita.
Cobalah luangkan waktu sejenak untuk mencoba melihat apa saja yang ada dalam keranjang sampah kita. Keragaman dan volume sampah serta berbagai merek produk di dalamnya bisa bercerita tentang tingkat kemakmuran, gaya hidup dan status sosial kita. Jadi keranjang sampah memiliki fungsi lain yang bisa mencerminkan hal-hal pribadi tentang kita.
Keragaman sampah bisa bercerita bahwa kita memiliki banyak pilihan terkait apa yang kita konsumsi. Jika sampah tetangga sebelah kita tidak seaneka ragam sampah kita, itu bisa berarti mungkin mereka tidak memiliki banyak pilihan karena terbatasnya budget. Jadi beragamnya sampah bisa menunjukkan budget kita untuk konsumsi sehari-hari cukup longgar.
Jika memang demikian maka secara ekonomi mungkin kita lebih makmur daripada tetangga sebelah kita. Atau, kitalah yang kurang bisa menahan nafsu untuk menuruti keinginan perut sehingga apa saja masuk ke dalamnya. Ini artinya jangan-jangan kita termasuk abdul buthun, yakni manusia penghamba perut.
Manusia seperti itu sudah pasti akan memproduksi sampah dalam jumlah yang lebih besar daripada mereka yang lebih suka berpuasa dalam kehidupan sehari-harinya. Jadi volume sampah yang tinggi bisa jadi menujukkan bahwa kita memiliki gaya hidup konsumtif. Orang konsumtif sudah pasti memproduksi sampah dengan volume lebih tinggi daripada mereka yang bisa menahan diri dari gaya hidup konsumtif. .
Gaya hidup kita sesungguhnya tidak hanya tercermin dalam volume sampah yang tinggi, tetapi juga dalam merek-merek produk yang tertera dalam barang-barang yang telah menjadi sampah. Kaleng atau botol minuman dengan merek tertentu yang dibeli dari pusat-pusat perbelanjaan seperti mall tentu lebih bergengsi daripada wadah minuman tanpa merek seperti kantong plastik untuk es teh yang dibeli dari warung makan PKL pinggir jalan.
Ketika sampah-sampah kita banyak terdiri dari barang-barang bermerek dengan keragaman dan volume yang tinggi, dari situlah sebenarnya bisa dibaca hal-hal tentang diri kita sebagaimana telah diuraikan di atas.
Namun, sadarkah kita semakin tinggi tingkat kemakmuran kita, kita bisa semakin konsumtif. Itu artinya semakin banyak kita memproduksi sampah. Semakin banyak sampah kita produksi, samakin tinggi tingkat pencemaran terhadap lingkungan. Semakin kita konsumtif, semakin tinggi tingkat eksploitasi terhadap bumi dan isinya.
Ingatlah Tuhan telah berfirman, kerusakan di bumi disebabkan oleh ulah manusia sendiri sebagaimana tertulis di dalam Al-Qur’an, Surah Ar-Ruum, ayat 41:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar)."
Maka keserderhanaan hidup sebagimana telah dicontohkan Rasulullah SAW dengan banyak berpuasa, makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang, sesungguhnya merupakan hal yang sangat terpuji karena itu berarti bersikap tidak konsumtif dan karenanya tidak banyak memproduksi sampah. Ini berarti bersikap lebih ramah terhadap lingkungan. Sikap ini semakin relevan dengan tuntutan zaman sekarang di mana telah ada kesadaran bersama untuk berikhtiar menjaga bumi dari pencemaran dan eksploitasi yang membabi buta.
Penulis adalah dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta