Opini

Refleksi Sumpah Pemuda dalam Bingkai Islam Nusantara

NU Online  ·  Sabtu, 28 Oktober 2017 | 13:09 WIB

Oleh Mahrus eL-Mawa

Salah satu elan vital sumpah pemuda itu pengakuan akan keragaman etnis di Indonesia. Kalau dahulu, anak-anak muda dari berbagai etnis itu berjuang meraih kemerdekaan untuk bangsanya, maka saat ini pemuda dari beragam etnis itu mengisi kemerdekaan RI dengan tetap menjunjung tinggi nilai keragaman dalam masyarakat yang multikultural. Salah satu nilai itu tertanam dalam pendidikan Islam program magister STAINU Jakarta dengan jargon kajian Islam Nusantara.

Dalam catatanku, belum pernah ada di kampus-kampus Indonesia ini, ada program magister yang spesifik nama program studinya dengan Islam Nusantara dalam kurun lima tahun terakhir ini, kecuali di Program Pasca STAINU Jakarta. Hanya saja, karena dalam nomenklatur birokrasi belum tercatat, maka dialihkan ke prodi yang berdekatan; sejarah kebudayaan Islam (SKI).

Satu hal yang menarik dari prodi magister STAINU ini, bukan hanya kajian atau diskursusnya, tapi juga para mahasiswanya juga berasal dari berbagai etnis bangsa Indonesia. Disadari atau tidak, program magister STAINU telah melakukan itu, bahkan mahasiswa dari negeri jiran, seperti Thailand juga sudah ada yang lulus dari program ini. Luar biasa, bukan? Seharian kemarin, saya kebagian menguji tesis mahasiswa STAINU asal Papua Barat.

Tentu saja, menjadi salah seorang penguji tesis dari mahasiswa asli Papua bagi saya merupakan "sesuatu banget". Selama ini, saya kenal orang Papua itu hanya berdasar "katanya", terlebih tentang Papua Muslim/Muslimah. Mendalami Islam masuk di Papua juga hal menarik sebagai suatu kajian sejarah dan kawasan. Apalagi mengkaji budaya Papua terkait dengan Islam dan kearifan lokal di suatu etnis Papua, sungguh kita akan merasakan hal luar biasa akan khazanah Islam di Indonesia ini.

Dua orang Papua, Muslim dan Muslimah yang saya uji tesisnya itu kini keduanya menunggu hari-hari untuk merengkuh legalitas magister humaniora dari UNU Indonesia/STAINU Jakarta. Saya tanya kepada salah satunya, dan mengaku ingin menjadi dosen saat pulang kampung nanti, syukur bila diterima sebagai PNS/ASN.

Jika para mahasiswa magister STAINU/Unusia berasal dari semua wilayah di Indonesia, seperti etnis Papua ini, tentu sangat keren. Sebelum kedua teman papua ini, mahasiswi asal madura juga lulus pada sidang tesisnya. Sebulan sebelum ini saya juga diberi kesempatan menguji mahasiswa dari etnis Lombok (NTB), Mataram, orang Cirebon, dan seterusnya. Di sinilah saya kira pantas jika prodi magister STAINU Jakarta ini menyebut prodi-nya dengan prodi Islam Nusantara. Sebab, bukan hanya wacana Islam Nusantara yang disampaikan dan dikaji selama kuliah, tetapi juga para pesertanya memang berasal dari berbagai etnis, warga bangsa, dan seterusnya.

Sungguh pendidikan magister di STANU Jakarta itu benar-benar telah mengejawantahkan nilai-nilai Sumpah Pemuda di era global dan kompetitif ini. Perbedaan etnis harus menjadi perekat untuk mengisi pendidikan Islam di Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan sebaliknya. semoga program tersebut terus bertahan dalam visi misinya dan selalu maju untuk menghadapi tantangan zaman yang serba keras dan kompetitif dalam berbagai bidang, khususnya keilmuan Islam di Indonesia.

Penulis adalah Wakil Ketua PP LP Ma'arif NU, Koordinator Diklat Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Jakarta.