Oleh Mahbib Khoiron
Sebagian dari kita barangkali pernah dengar ada satu keluarga asal Indonesia yang berjumlah lebih dari 20 orang ramai-ramai berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Peristiwa itu terjadi pada Agustus 2015 dan menjadi sorotan media-media internasional. Ragam usia yang ikut serta dalam rombongan itu juga cukup lengkap, mulai dari kakek-nenek hingga anak-anak.
Berapa biaya yang digelontorkan untuk keberangkatan ke luar negeri dengan jumlah anggota sebesar itu? Ya, ongkos yang tak sedikit. Untuk kepentingan ini, mereka menjual rumah, mobil, perhiasan, dan barang-barang berharga lainnya. Total yang berhasil dihimpun pun mencapai sekitar setengah miliar rupiah. Dengan modal tersebut, mereka terbang ke Turki, baru kemudian ke Suriah.
Bagi mereka saat di Indonesia, pasukan ISIS adalah kelompok mujahid yang sukses mewujudkan negara Islam yang indah: penuh kedamaian, keadilan, kesejahteraan, dan tentu saja kehidupan serbaislami sebagaimana yang mereka idam-idamkan.
Bagi yang tahu kebengisan ISIS sejak awal, tindakan satu keluarga ini konyol. Tapi nyatanya satu keluarga tersebut beranggapan sebaliknya, meskipun akhirnya mereka menyesal setelah beberapa bulan tinggal di Suriah. Seorang nenek meninggal dunia. Disusul seorang bapak tewas akibat serangan udara. Para pria dewasa dipaksa ikut perang, sementara para wanita dipaksa menjadi budak seks pasukan ISIS. Mimpi mereka pun hancur lebur di kawasan yang dikuasai predator harta dan wanita.
Suriah adalah neraka bagi rombongan sekeluarga ini. Pendidikan gratis, layanan kesehatan gratis, dan janji perbaikan ekonomi yang pernah terngiang hanya tinggal khayalan. Yang ada justru keluarga menjadi berantakan, hidup terkurung, dan satu persatu anggota keluarga mati, entah lantaran sakit atau terbunuh. Fakta para musuh ISIS dipenggal atau digorok lehernya adalah pemandangan biasa di sana.
Yang bikin heran sesungguhnya adalah: dari mana keluarga tersebut memperoleh informasi tentang "negeri indah nan ideal" ala ISIS itu? Magnet macam apa yang menggerakkan tak hanya jumlah orang yang demikian banyak tapi juga pengorbanan harta benda yang cukup besar itu?
Ternyata semua keputusan fantastis tersebut bermula dari tekunnya seorang gadis 17 tahun bernama Nurshardrina Khairadhania mencermati konten buat ISIS di internet. Nur, sapaan akrabnya, terpesona oleh propaganda ekstrimis ini dalam berbagai tayangan video, artikel, dan foto-foto di dunia maya yang menampilkan hanya cerita-cerita bagus tentang ISIS. Cintanya yang mendalam pada ISIS bahkan membuatnya menolak orang-orang yang menuduh ISIS sebagai organisasi kejam, dan menilai tuduhan itu sebagai bagian dari anti-Islam.
Keyakinan kuat Nur kepada ISIS dan negara Islamnya yang "indah" itu lantas ditularkan ke anggota keluarganya. Ia berhasil meyakinkan mereka, dan begitulah sebuah malapetaka yang menimpa lebih dari 20 anggota keluarga tersebut dimulai.
Demikianlah kekuatan internet. Ia tak hanya memudahkan orang berbuat baik tapi sering pula menjadi sarana paling gampang menggelincirkan orang ke lembah gelap. Tsunami informasi yang ditimbulkan adalah bencana bagi mereka yang tak pandai menyaring tiap kabar yamg datang. Di titik ini, penting buat kita untuk terus memelihara kewarasan nalar dan budaya kritis karena tak setiap yang ada di depan mata itu indah, dan yang indah pun belum tentu tidak palsu, dan seterusnya.
Terbesit di benak kita, jenis manakah yang paling banyak dari pengguna internet kita: yang kritis atau yang main telan semua informasi? Lalu, di bagian manakah kita termasuk?
Penulis adalah alumnus Madrasah Mu'allimin Islamiyah Pondok Pesantren At-Tanwir Sumberrejo, Bojonegoro