Opini

Hoaks dan Analogi Kebangsaan

NU Online  ·  Rabu, 21 Maret 2018 | 00:07 WIB

Oleh Abdul Ghopur

Nusantara adalah ibu pertiwi, jika kita mengkhianatinya, itu sama artinya kita mengkhianati ‘ibu’ kita sendiri.” (Bung Ghopur, 2017)

Menganalogikan atau mengibaratkan kecintaan kita terhadap bangsa ini adalah dengan menyamakan kecintaan kita terhadap kedua orang tua kita terkasih. Mereka yang telah merawat dan membesarkan kita dari kecil sampai besar (dewasa), bahkan dari buaian sampai liang lahat.

Merawat tatkala kita sakit, merawat dengan segala kasih–sayang, merawat dengan segala kelebihan dan keterbatasan, mendidik–menyekolahkan kita dengan uang hasil kristalisasi keringat mereka, supaya kita terdidik secara formal maupun informal bahkan spiritual, agar kita menjadi tanda zaman. Demi menjadikan kita insan bermakna dan bermanfaat bagi sesamanya bahkan bagi Indonesia Raya dan alam semesta.

Manakala kedua orang tua kita diganggu, disakiti fisiknya, disakiti perasaannya, dizalimi, dihina bahkan dilecehkan oleh orang lain, maka sudah pasti, dan pasti, kita akan merasa sedih tak terperikan. Bahkan sudah barang pasti, kita akan marah dan murka terhadap orang yang mengganggunya! Dan, sudah sebuah keniscayaan, kita akan membela, mempertahankan dan menjunjung tingi harkat,  martabat dan kehormatan kedua orang tua kita terkasih dengan segenap cara dan membela mati-matian sampai titik darah penghabisan.

Dus, semua itu kita lakukan, karena kita sangat mengenal sosok kedua orang tua kita, mengenal kasih–sayangnya yang tiada tara, memahami semua perjuangan dan segenap daya–upayanya hanya semata untuk kita anaknya. Dus, kita begitu merasakan segala curahan kasih– sayangnya terhadap kita, dan hanya untuk kita, yang intinya kita sangat mengenal deru sejarah perjuangan kedua orang tua kita terhadap anak dan keluarganya, yaitu kita. Sehingga, sudah selayaknya pembelaan kita terhadap kedua orang tua terkasih adalah mutlak.

Begitu pula seharusnya kita memperlakukan negeri dan tanah air tercinta ini, Indonesia Raya. Karena kita sudah merasa, menikmati, dan mengecap indahnya alam Nusantara dari Sabang sampai Merauke, yang di dalamnya terkandung nikmat dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT yang luar biasa. Alam Nusantara raya yang tropis, bulir air bening yang mengalir tiada henti, mengalir sampai jauh, sampai ke seluruh sel tubuh dan sel darah kita.

Tanah yang menumbuhkan segala jenis dan ragam penganan untuk kehidupan manusia Indonesia. Angin nusantara yang terhisap ke hidung sampai rongga dada manusia Indonesia, minyak dan gas bumi yang menjadikan api kehidupan manusia Indonesia, dan seluruh sumber daya alam yang menjadikan setiap sudut kehidupan bangsa Indonesia.

Tidaklah mengherankan, atas dasar dan alasan keragaman dan kekayaan alam Indonesia, bangsa-bangsa asing berusaha terus menguasai bahkan menjajah Indonesia tiada henti dengan segala caranya. Sebab, di sana, di negeri tanah asalnya, tidak mereka temukan apa yang ada di bumi Nusantara atau Indonesia tercinta ini. Bumi Nusantara yang menjadi kawah candradimukanya dunia.

Demikan pula,ini negeri yang dikarunia para pendiri bangsa, orang-orang terpilih, suri tauladan bagi negeri yang luar biasa ini. Para pendiri bangsa (founding fathers) yang memiliki kedalaman dan kejernihan berpikir bagi persatuan-keastuan, kerukunan, kemerdekan, kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan bangsanya. Anak-anak bangsa yang melakukan pengembaraan batin yang panjang bagi cita-cita kemerdekaan bangsanya. Para pendiri bangsa yang progresif, revoluioner dan visioner.

Orang-orang yang memiliki pandangan jauh ke depan demi Indonesia merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Demi terbebasnya bangsa Indonesia dari penjajah dan penjajahan asing, dan dari keterjajahan fisik maupun pikiran. Semuanya demi gilang-gemilangnya bangsa dan kejayaan bangsa Indonesia.

Lepas dari pandangan saya di atas, saya ingin menukil pernyataan sangat menarik dari seorang kiai besar nyentrik zaman now, KH Mustofa Bisri atau biasa kita sapa Gus Mus: “Kita ini adalah orang Indonesia yang beragama Islam. Kita bukan orang Islam yang kebetulan mampir di Indonesia.” 

Kedua bait kalimat ini menurut Kiai kharismatik ini memiliki konsekuensi logis berbeda. Bait kesatu, ‘orang Indonesia yang beragama Islam’ mengharuskan umat Islam di Indonesia untuk mencintai Indonesia. Maka, lanjutnya, membela negara merupakan kewajiban bagi seluruh warga Indonesia. “Kalau tuan rumah tidak cinta sama rumah kita Indonesia, kan aneh?” kata Gus Mus.

Lalu, bait kedua: ‘orang Islam yang kebetulan dilahirkan di Indonesia’ atau kebetulan mampir ke Indonesia cenderung tidak memiliki kewajiban untuk menjaga tanah air. Kelompok Islam yang mengikuti paham tersebut, cenderung menggampangkan kecintaan terhadap Indonesia sebagai tanah air yang wajib dibela mati-matian. “Orang kayak gini, seperti turis. Dia tidak peduli mau rumahnya rusak bahkan hancur. Wong mereka cuma turis,” ujarnya.

Kalimat sederhana Gus Mus dilontarkan menyindir gerakan kelompok tertentu yang mengatasnamakan Islam yang cenderung keras dan abai terhadap nilai-nilai keberagaman di Indonesia. Kelompok ini, kerap mengatasnamakan agama Islam untuk melakukan kerusakan tanpa memikirkan akibat buruknya bagi bangsa.

Menurut hemat saya, semestinya Islam melahirkan kecintaan dan kasih sayang dalam beragama bahkan berbangsa dan bernegara. Bahkan mengajak dunia Islam internasional untuk mencontoh Islam yang ada di Indonesia, yang dapat bersanding dengan damai terhadap agama dan ajaran yang berbeda. Islam Indonesia yang menghormati dan menghargai adat-istiadat setempat dan budaya adiluhung warisan para leluhur bangsa.

Sebab, Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab. Kita pertahankan milik kita, kita harus serap ajarannya, tapi bukan budaya Arabanya, demikian kata KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur Allah yarhamhu. Inilah yang kita kenal sebagai Islam rahmatan lil ‘alamin (Islam adalah rahmat bagi alam semesta).

Kendati demikian, sepertinya saya menangkap kegundahan Gus Mus terhadap perilaku suatu kelompok masyarakat keagamaan tertentu yang intoleran tidak sepenuhnya Ia tujukan kepada kelompok (yang katanya) Islam itu. Tetapi, kepada semua kelompok keyakinan, kepercayaan dan keagamaan manapun yang cenderung memiliki sifat dan sikap intoleran terhadap kelompok lainnya.

Sebab, akhir-akhir ini marak sekali isu berbau atau berbasis sentimen anti-suku, ras, agama dan antar golongan (SARA) tertentu yang menggunakan rekayasa dalam bentuk meme dan video di negeri ini. Berita hoaks menghiasi ruang-ruang sosial dan media, terutama media internet. Tentu, ini fenomena yang sangat mengkhawatirkan dan dapat merusak tatanan sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dampak derasnya isu SARA berbasis hoaks yang membanjiri ruang media telah mengendorkan ikatan toleransi antar umat beragama, antar suku, ras dan antar golongan seperti yang kita rasakan saat ini (Karyono Wibowo, 2018). Selain itu, menguatnya sentimen SARA secara perlahan telah memudarkan nilai-nilai gotong-royong dan nilai-nilai demokrasi yang selama ini sudah terbangun dan berjalan baik. 

Di sisi lain tak hanya isu SARA, berita-berita hoaks yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya telah meracuni pengguna media sosial. Akibatnya, timbul pemutarbalikan fakta (distorsi) yang telah menciptakan keresahan sosial. Bahkan tingkat keresahannya sudah sampai pada level atau tataran praksis realitas sosial. Penyerangan dan tindak kekerasan terhadap tokoh/pemuka agama (ulama dan pastur) di Jawa Barat dan Jawa Tengah beberapa waktu lalu adalah bukti nyata ujaran kebencian.

Kewaspadaan terhadap ancaman isu SARA dan berita hoaks seperti sekarang ini dengan sendirinya wajib kita tingkatkan dan tidak boleh kendor, mengingat situasi dan kondisi saat ini dan ke depan masih memungkinkan adanya ancaman isu SARA dan berita-berita hoaks yang akan terus mewarnai ruang publik sampai tujuannya tercapai. Seperti diketahui, saat ini kita sudah memasuki tahun politik.

Setidaknya ada dua momentum politik yang bisa menjadi ladang berkembangnya isu SARA dan hoaks, yaitu Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu Nasional (pileg dan pilpres) 2019. Di sisi lain, menguatnya politik identitas dan isu bangkitnya paham Komunisme yang sengaja dieksploitasi sebagai salah satu strategi dalam kompetisi elektoral akan semakin mendorong maraknya isu SARA, hoaks dan black campaign.

Pada dimensi lain, momentum ini bisa dimanfatkan kelompok tertentu yang mengeksploitasi agama atau bahkan isu kebinekaan untuk semakin menguatkan pengaruh ideologi radikal yang kerap menggunakan dalil qur’an dan hadits dan dalil/kedok kerukunan atau toleransi sesuai tafsir mereka untuk dijadikan propaganda.

Berat rasanya untuk mengatakan bahwa sesungguhnya, situasi kebangsaan kita dewasa ini telah terjadi stigmatisasi, cap, atau labeling atas satu kelompok oleh kelompok lain. Misal, ada sekelompok orang tidak puas dengan sistem yang ada, lalu mereka protes dalam bentuk demonstrasi dengan mengatasnamakan keyakinan tertentu, lalau mereka dicap anti Pancasila. Sebaliknya, ada sebagian masyarakat yang berusaha mempertahankan keutuhan bangsa meski dia seiman, dengan mudah pula dituduh liberal bahkan kafir. 

Menurut hemat saya, yang paling baik dari keduanya adalah dia tetap mempertahankan keyakinannya sesuai ajarannya, tanpa harus mencap orang lain kafir, dan tetap menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa tanpa harus menstigma orang lain anti Pancasila. Inilah yang disebut hubbul wathon minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman).

Jadi, tiada pertentangan antara paham agama dan negara atau bangsa. Dan keduanya tak perlu dipertentangkan satu sama lainnya. Sebagaimana telah disampaikan perintis dan pahlawan kemerdekan Indonesia serta pendiri Nahdlatul Ulama, Hadratussyekh. KH M. Hasyim Asy’ari: “Agama dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari agama, dan keduanya saling menguatkan.

Oleh karena itu, dengan kita memahami dan menghayati keindonesiaan kita yang di dalamnya terdapat banyak ragam suku, bahasa dan agama, serta jerih payah dan getirnya perjuangan mengusir penjajah, juga atas nikmat alam Indonesia yang kita rasakan selama ini, maka, wajib dan mutlaklah bagi segenap dan seluruh tumpah darah Indonesia membela sampai titik darah penghabisan terhadap negeri tercinta ini, Indonesia Raya. Sebab kita mengenal sejarah bangsa ini. No korupsi!

Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB).