Opini

Cover Tanpa Buku

NU Online  ·  Rabu, 1 November 2017 | 13:31 WIB

Oleh Aswab Mahasin

Masyhurnya, judul di atas dirangkai dengan kata-kata, “Jangan melihat buku dari cover-nya, lihatlah dari isinya.”. Lahirnya kata-kata tersebut disebabkan banyak orang terjebak oleh bentuk luar/tampilan luar—padahal secara ‘isi’ belum tentu kosong atau bisa juga benar-benar kosong. Fenomena itu menyeruak di masyarakat kita, dari mulai dulu hingga sekarang. Ada orang pakai jas, sepatu mengkilap, dandanan necis, akan dianggap sebagai bos. Lain lagi, ada orang memakai gamis, peci putih, ditutup dengan sorban, dianggap sebagai syekh, kiai, dan ustadz. Namun sebaliknya, pakaian biasa, sarung lecek, songkok kemerah-merahan karena terkena air, seringkali dianggap sebagai orang awam yang tak berilmu. 

Kita ukur lagi lebih dalam, embel-embel/simbol-simbol/cover (bungkus) yang dikenakan belum tentu menandakan bahwa ia sesuai dengan apa yang ia pakai. Anda bisa lihat di pusat perbelanjaan (mall-mall) banyak pengunjung dan karyawan yang memakai rok mini (sering diidentikan tidak taat dalam beribadah) tapi praktiknya rajin dan tepat waktu shalatnya. Tentu, tidak sedikit juga orang yang memakai jilbab, ia tidak rajin shalat.

Tidak bisa juga disebut, orang yang memakai celana pendek dan kaos murahan lantas ia dituding sebagai orang miskin, dan orang yang memakai pakainnecis disebut kaya. Tidak selalu begitu. Namun, persepsi kita dalam hal ini harus objektif. Bukan berarti setiap orang yang pakai rok mini rajin shalatnya, dan orang yang pakai jilbab tidak rajin shalatnya (jangan sekali-kali berpikir begitu). Lalu, bukan berarti orang yang necis—kemudian dianggap miskin, karena persepsi—tidak melulu orang necis itu kaya. 

Lebih jelasnya begini, kita tidak bisa memukul rata, gara-gara penculik setiap aksi culiknya selalu menggunakan mobil pintu dorong ke belakang, lantas semua yang memakai mobil itu adalah penculik, tidak. Atau gara-gara penipu dalam aksi tipunya seringkali berpenampilan memakai sepatu mengkilap dan baju dimasukan, lantas semua orang yang berpakain seperti itu dianggap sebagai penipu, tidak.

Pertanyaannya, relevankah mengukur tingkat kesalehan dan kehormatan seseorang diukur dari apa yang ia pakai? Saya tidak akan menjawabnya, silakan Anda jawab sendiri. Pastinya, pakaian atau cover tidak bisa dijadikan standar baik dan buruk. Namun, bukan berarti saya menganjurkan Anda untuk berpakain compang-camping atau seenaknya sendiri, dan berprilaku semaunya sendiri, tanpa memperdulikan sekitar.Berpakain pantas itu harus, karena ada keterkaitan antara pakaian dan budaya, keterkaitan antara pakaian dan agama—budaya dan agama mengatur cara kita berpakain sebagai standar etika dan ibadah.

Allah SWT berfirman, “Hai anak Adam, sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekusaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS. Al-‘Araf: 26)

Tulisan ini sekedar ingin memunculkan, ada kepantasan lain dari sekedar cover, yaitu pikiran hati, perilaku, ucapan, dan tindakan. Kenapa? harus ada kesesuaian antara apa yang dipakai dan sikap kita sebagai makhluk sosial dan spiritual. Cover pada pengertian ini tidak hanya sebatas pakaian, tapi profesi, jabatan, dan identitas-identitas lainnya juga.

Bukan maksud menuduh dan mudah-mudahan saya keliru. Fenomena masyarakat yang semakin agamis secara cover, tidak bisa dijadikan standar kalau kita semua sudah termasuk orang-orang yang bertakwa. Dan masyarakat banyak yang terjebak dengan cover, dianggapnya dengan memakai serba pakaian seperti ‘syekh, kiai, ustadz’ maka ia dianggap sebagai ahli agama, dan mempunyai hak untuk berfatwa. Dari sinilah muncul, banyak “cover tapi tanpa buku (tanpa isi)”. Karena itu, judul dalam tulisan ini “cover tanpa buku”. Maksudnya, yang diumbar hanya ujaran-ujaran kebencian, menjatuhkan orang lain, memfitnah, dan sebagainya—kita masih ingat betul, bagaimana seorang yang mengatasnamakan diri sebagai ustadz, mengatakan, “Pemerintah, monyet-monyet berseragam coklat, dan negara Indonesia, thagut.” Dan masih banyak lainnya, kalau kita curahkan semua.

Secara etika kepantasan, pakaian yang dipakai tokoh agama, entah itu secara dhahiriyah dan bathiniyah—seharusnya menyejukkan dan menentramkan, bukan memprovokasi apalagi menjatuhkan satu sama lain. Allah SWT memerintahkan harus dengan bijaksana. 

Allah SWT berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)

Cover tanpa buku (tanpa isi) terjadi tidak hanya dalam fenomena di atas. Ada juga dalam ranah hukum, kita semua masih ingat Akil Mochtar, secara cover ia adalah seorang Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Namun, kasusnya memalukan, yaitu korupsi. Jelas bertentangan antara cover dengan isinya. Tindakan yang tidak pantas itu menjadikan ia masuk dalam predikat ‘cover tanpa buku’.

Lain lagi dengan para politisi, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) disebut-sebut sebagai Yang Terhormat, status cover luar biasa, begitupun cover luarnya. Dalam setiap kampanye, ia selalu membanggakan diri sebagai sosok yang mampu menyelesaikan dan mengentaskan nasib rakyat dari belenggu kemiskinan, janji-janji kampanyenya begitu menggoda. Namun, tidak sedikit oknum DPR yang menghianati cover-nya sebagai dewan yang terhormat, ia malah terjerumus dalam kasus korupsi, main perempuan, dan deal-deal politik yang memalukan.

Yang lagi rame sekarang, beberapa Bupati terciduk KPK karena kasus korupsi. Lagi-lagi mereka menghianati cover-nya. Padahal dalam ayat di atas Tuhan menyerukan, yang paling baik itu “cover sekaligus buku (isi) ketakwaanmu”.

Selain itu, kejadian di Mesir, seorang ulama Al-Azhar Syekh Ihab Al-Yunis ditangkap oleh pemerintah Mesir gara-gara menyanyikan lagu di salah satu stasiun televisi. Dianggapnya, seorang ulama, imam dan penceramah di Masjid Ali Bin Abi Thalib itu telah mempermalukan institusi kenamaan tersebut. Yang menjadi sorotan utama adalah pada saat bernyanyi ia memakai pakaian resmi Al-Azhar—kadung identik dengan simbol keilmuan dan fatwa, tak semestinya digunakan untuk menyanyi meski tujuannya baik. Syekh Ihab Al-Yunis dianggap telah mendistorsi kebanggan terhadap seragam itu sendiri. 


Walaupun kasus di Mesir berbeda dengan yang dimaksud dalam tulisan ini, namun setidaknya bisa menjadi permisalan lain, benar-benar ada keterikatan sosial dan kultural kuat sekali antara pakaian dan isinya. Ukurannya begini, seorang ulama yang dianggap telah mendistorsi cover ia dihadapkan pada kasus hukum—dianggap memalukan ‘isi’. Dan sangat harus sekali di Indonesia, kasus-kasus yang memalukan, seperti; korupsi, suap, pencucian uang, dan sejenisnya—dibrangus habis sampai akar-akarnya. Sudah bukan lagi memalukan ‘buku/isi’, melainkan telah menghianati ‘isi’, sekaligus tak punya tanggung jawab baik terhadap ‘buku/isi’. 

Dengan demikian, menghadapi fenomena tersebut (semua keterangan di atas) kita harus tetap berpikir objektif,tidak dianjurkan melihat semuanya hanya dari satu sisi, melainkan dari kedua sisi atau berbagai sisi. Tidak semua hakim seperti Akil Mochtar, tidak semua DPR itu praktisi korupsi, dan tidak semua pendakwah mengumbar kebencian. Cover-cover mereka sebenarnya hanya segelintir saja, tidak dominan tapi nampak. Tetap waspada. 

Menurut Gus Dur kita beragama, bergaul, dan berinteraksijangan hanya pakai “hidung”, karena tidak semua yang ‘berbau’ komunis itu PKI, tidak semua yang ‘berbau’ kritis itu liberal, tidak semua yang ‘berbau’ Iran itu Syiah, tidak semua yang ‘berbau’ Arab itu Wahabi, tidak semua yang ‘berbau’ penolakan terhadap Perppu Ormas itu HTI, tidak semua yang ‘berbau’pejabat itu korupsi, dan tidak semua yang ‘berbau’ politik itu tidak manusiawi.

Oleh sebab itu, kita dituntut untuk mampu berpikir jernih, mempunyai kelapangan jiwa luar biasa, dan mau menerima perbedaan tanpa gesekan. Itu semua diperlukan untuk merefleksikan apa yang kita lihat, apa yang kita baca, dan apa yang kita pikirkan setiap hari, khususnya informasi yang kita dapat dari media, koran, televisi, internet, berita-berita, dan sebagainya—tidak begitu saja kita masukkan sebagai sumber kebenaran, kita harus membiasakan mengecek ulang informasi yang kita dapat, khususnya cover-cover yang meragukan, apalagi sekarang di medsos banyak sekali bertebaran “cover tanpa buku (isi)”.Semoga kebaikan selalu menyertai kita. Amin

Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)


Penulis adalah Pembaca Setia NU Online