Nasional

Penyuluh Agama Perlu Hadir di Ruang-Ruang Kecil Pemicu Konflik Keagamaan

NU Online  ·  Kamis, 26 Juni 2025 | 17:30 WIB

Penyuluh Agama Perlu Hadir di Ruang-Ruang Kecil Pemicu Konflik Keagamaan

Fasilitator dari Lakpesdam PBNU Abi S Nugroho dalam Sekolah Penyuluh dan Penghulu Aktor Resolusi Konflik (SPARK) 2025 di Ancol, Jakarta, Rabu (25/6/2025). (Foto: dok. Kemenag)

Jakarta, NU Online

Penyuluh dan penghulu agama Islam perlu hadir secara aktif di ruang-ruang sosial akar rumput yang kerap menjadi pemicu konflik keagamaan. Moderasi beragama tidak cukup dipahami sebagai seruan normatif, tetapi harus menjadi pendekatan strategis dalam membaca dan merespons dinamika sosial masyarakat.


Kesadaran itu ditegaskan dalam pelatihan Sekolah Penyuluh dan Penghulu Aktor Resolusi Konflik (SPARK) 2025 yang digelar di Ancol, Jakarta, Rabu (25/6/2025).


Fasilitator dari Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Abi S Nugroho menekankan pentingnya membumikan moderasi sebagai alat baca sosial, bukan sekadar simbol moral.


“Selama ini kita terlalu nyaman memaknai moderasi sebagai ajakan damai atau toleransi. Padahal, penyuluh dan penghulu sehari-hari berhadapan langsung dengan realitas yang tidak sesederhana itu,” ujar Abi di hadapan peserta dari berbagai daerah.


Ia menilai, banyak konflik yang mengatasnamakan agama sejatinya tidak berakar pada doktrin atau ajaran, melainkan pada persoalan sosial yang lebih dalam, seperti ketimpangan, absennya negara, dan eksklusi simbolik yang tidak kasatmata.


“Penyuluh jangan terjebak dalam rutinitas seremonial. Mereka harus peka membaca gejala konflik sejak dini. Kalau tidak, moderasi hanya menjadi jargon yang tak membumi,” tegasnya.


Abi juga menyoroti pentingnya literasi konflik berbasis komunitas. Menurutnya, penyuluh dan penghulu perlu menjangkau ruang-ruang sosial yang selama ini luput dari perhatian negara yakni di grup WhatsApp RT, pengajian keluarga, hingga forum-forum tertutup yang rentan disusupi narasi eksklusif.


“Kalau penyuluh tidak hadir di sana, siapa lagi? Konflik hari ini banyak bermula dari narasi yang dibangun di ruang-ruang kecil itu,” katanya.


Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa moderasi beragama tidak bisa hanya bersifat reaktif. Penyuluh harus mampu membaca arah sosial dan bertindak preventif.


“Deeskalasi itu bukan sekadar menenangkan. Ia harus memulihkan keadilan dan merawat kepercayaan warga,” imbuhnya.


Abi mendorong para penyuluh dan penghulu untuk berpihak pada korban, menciptakan ruang aman bagi warga, serta menjadi penghubung aktif antara negara dan masyarakat akar rumput.


“Kantor Urusan Agama (KUA) jangan hanya jadi tempat orang menikah. Jadikan ia rumah bersama, tempat dialog lintas iman, dan simpul penguatan kohesi sosial,” ujarnya.


Ia juga mengingatkan pentingnya mendokumentasikan praktik-praktik baik yang telah dilakukan oleh para penyuluh di berbagai daerah.


“Banyak kerja sunyi yang luput dari catatan. Padahal, rekam jejak damai ini penting untuk jadi pembelajaran lintas wilayah,” kata Abi.


Pelatihan SPARK 2025 menjadi ruang reflektif bagi peserta untuk meninjau ulang kerangka pikir mereka terkait moderasi beragama. Abi mengapresiasi keterbukaan para penyuluh dan penghulu yang secara jujur membagikan pengalaman dan kegelisahan selama proses pelatihan.


Program ini diselenggarakan oleh Subdirektorat Bina Paham Keagamaan Islam dan Penanganan Konflik Keagamaan, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama, pada 22-26 Juni 2025.


Sebanyak 50 peserta terpilih dari 827 pendaftar mengikuti kegiatan ini. Kemenag berharap, melalui pelatihan tersebut, lahir aktor-aktor keagamaan yang tidak hanya memahami teks, tetapi juga piawai membaca konteks dan mampu merawat keberagaman dalam bingkai keadilan sosial.