Guru Besar Unpad Sebut RUU TNI Langgar Prosedur Pembentukan Undang-Undang
NU Online · Selasa, 8 Juli 2025 | 12:00 WIB

Guru besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof Susi Dwi Harijanti di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (7/7/2025). (Foto: tangkapan layar kanal Youtube Mahkamah Konstitusi)
Haekal Attar
Penulis
Jakarta, NU Online
Guru besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof Susi Dwi Harijanti mengungkapkan bahwa pengesahan Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) melanggar prosedur pembentukan UU. Mengutip Charles G Howard dan Robert Summers, ia menjelaskan bahwa prosedur merupakan jantung hukum yang meliputi prosedur legislatif, administratif, dan yudisial.
Hal itu disampaikannya sebagai keterangan ahli permohonan perkara 69/PUU-XXIII/2025 dan 75/PUU-XXIII/2025 dalam pengujian formal UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (7/7/2025).
Baca Juga
Pengesahan RUU TNI Khianati Demokrasi
"Prosedur pembentukan Undang-Undang menjadi bagian dari substansi konstitusi karena berfungsi sebagai parliamentary constraint dan the limited government. Dalam pengujian ini, Mahkamah tidak hanya menilai hasil, tetapi juga cara pencapaiannya," katanya.
Selain itu, RUU TNI juga melanggar prinsip demokrasi, kepatuhan terhadap prinsip negara, HAM, serta prinsip-prinsip pelengkap. Prinsip pelengkap, lanjutnya, seperti kebutuhan, hukum berbasis bukti, keterbukaan, partisipasi, inklusivitas, dan perencanaan legislasi yang terorganisir.
"Dalam konteks Undang-Undang a quo, seluruh prinsip di atas tidak dipenuhi. Undang-Undang tersebut dipaksakan masik tanpa prolegnas prioritas, tanpa proses yang transparan dan terorganisir," katanya.
"Minim partisipasi publik, serta tidak ada informasi resmi yang dapat diakses secara terbuka sebelum pengesahan," tambahnya.
Tak hanya itu, lanjutnya, naskah akademik yang memadai sebagai alasan pembentukan draf RUU TNI juga tidak memadai.
"Sebagaimana tadi saya sampaikan, naskah akademik hanya setebal 28 halaman dan secara substantif tidak menjelaskan dampak pengaturan baru secara memadai, terutama dampak terhadap relasi sipil militer, peluang kerja sipil, serta potensi pelanggaran prinsip non-diskriminasi," jelasnya.
Diketahui, Ketua DPR RI Puan Maharani telah mengesahkan Revisi UU TNI dalam sidang paripurna pada 20 Maret 2025 lalu. “Kami minta persetujuan fraksi-fraksi terhadap RUU TNI apakah dapat disetujui untuk disahkan menjadi UU?, tanya Puan. "Setuju," jawab seluruh anggota DPR RI.
Setidaknya, ada 3 poin perubahan UU TNI. Pertama, perluasan tugas pokok TNI yaitu RUU TNI menambah 2 tugas pokok baru, yaitu pertahanan siber dan melindungi warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri, sehingga total tugas pokok menjadi 16.
Kedua, RUU TNI menambah jumlah kementeria atau lembaga yang dapat diisi oleh prajurit militer aktif dari 10 menjadi 14, dengan ketentuan berdasarkan permintaan pimpinan kementerian atau lembaga yang bersangkutan.
Ketiga, RUU TNI mengubah masa dinas keprajuritan yang sebelumnya maksimal 58 tahun untuk perwira dan 53 tahun untuk tamtama dan bintara, menjadi fleksibel sesuai jenjang kepangkatan.
Terpopuler
1
Dilantik, Berikut Susunan Lengkap Idarah 'Aliyah JATMAN Masa Khidmah 2025-2030
2
Atas Dorongan PBNU, Akan Digelar Jelajah Turots Nusantara
3
Asyura, Tragedi Karbala, dan Sentimen Umayyah terhadap Ahlul Bait
4
Rais Aam Sampaikan Bias Hak dan Batil Jadi Salah Satu Pertanda Kiamat
5
Penggubah Syiir Tanpo Waton Bakal Lantunkan Al-Qur’an dan Shalawat di Pelantikan JATMAN
6
I'tikaf hingga Khataman Al-Qur'an, Kebiasaan Gus Baha di Bulan Muharram
Terkini
Lihat Semua