Opini

Pesantren dan Tanggung Jawab Keindonesiaan

Selasa, 24 Oktober 2017 | 14:30 WIB

Oleh: Muhammad Jauhari Sofi*
Tanggal 22 Oktober lalu telah ditetapkan Pemerintah Indonesia sebagai Hari Santri Nasional. Tahun ini adalah kali ketiga Hari Santri Nasional diperingati. Penetapan ini adalah suatu bentuk pengakuan dan penghormatan atas kiprah para ulama, santri dan pesantren dalam turut serta membentuk identitas bangsa dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Sebagai institusi pendidikan dan keagamaan, pesantren telah ada di Nusantara jauh sebelum Indonesia merdeka. Selama itu pula, pesantren secara umum telah mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan dan kebutuhan zaman. Pesantren telah terbukti tidak bersikap isolatif dan justru aktif berkontribusi dalam menyelesaikan problem multidimensional yang dihadapi bangsa ini. 

Tradisi pesantren, sebagai representasi dari wajah Islam inklusif dan dahulu pernah menjadi ujung tombak dalam pembangunan peradaban Melayu Nusantara itu, kini diharapkan tampil kembali dalam merespon tantangan-tantangan Indonesia di masa modern.

Di masa modern dewasa ini, perkembangan teknologi dan informasi telah membawa pengaruh besar bagi umat manusia, khususnya dunia Islam. Keduanya turut berperan dalam mempopulerkan kembali isu radikalisme dan terorisme. Radikalisme dan terorisme sendiri pada dasarnya adalah buah dari pendangkalan doktrin agama. Dengan bantuan teknologi, informasi yang menyesatkan terkait ajaran agama dapat dengan mudah disebarluaskan.

Persoalan identitas juga menjadi isu yang khas di Indonesia saat ini, negara dengan mayoritas penduduk Muslim. Sebagian Muslim di Indonesia masih merasa dihadapkan pada dua pilihan yang kontradiktif, yaitu memposisikan diri antara sebagai seorang Muslim atau sebagai seorang warga negara. Kegamangan identitas ini juga berpotensi menjerumuskan seseorang ke jurang radikalisme dan terorisme.

Mengamati penanganan radikalisme dan terorisme di Indonesia, sebagaimana kita tahu, pemerintah lebih sering mengambil tindakan represif. Langkah ini sekilas terlihat cukup efektif untuk mensterilkan keadaan. Namun, tidak ada yang bisa menjamin bahwa radikalisme dan terorisme tidak akan tumbuh kembali, mengingat keduanya berkaitan dengan ideologi  yang bisa bersarang di pikiran siapa saja. 

Ditambah lagi, di satu sisi, tindakan represif yang mungkin berlebihan bisa dianggap melanggar hak asasi manusia. Namun, di sisi lain, pemerintah tentu tidak dianjurkan memakai cara-cara yang halus untuk memerangi kelompok radikalis dan teroris. Situasi ini menempatkan pemerintah dalam posisi dilematis. Baik cara kasar ataupun cara halus sama-sama memiliki resiko. 

Deradikalisasi 
Dalam situasi seperti inilah, kehadiran pesantren dalam membantu pemerintah mengatasi radikalisme dan terorisme menjadi sangat penting. Pesantren bisa berkontribusi dalam de-radikalisasi dengan cara mengkampanyekan ajaran-ajaran Islam yang sesuai arahan Nabi. Pesantren diharapkan mampu mempromosikan Islam yang membawa kedamaian bagi seluruh penghuni alam, sekaligus membentengi masyarakat dari paham-paham radikal. 

Radikalisme dan terorisme adalah ancaman nyata, tidak hanya bagi negara tetapi juga bagi Islam sendiri. Para teroris dan kelompok radikalis seringkali mengunakan justifikasi dalil-dalil dan simbol-simbol agama dalam menjalankan propaganda. Kekerasan yang seringkali membawa-serta dalil dan simbol Islam ini lalu mencuatkan kebingungan: Siapakah sebenarnya yang mewakili Islam? Di tangan kelompok radikalis dan teroris ini, wajah Islam menjadi kasar dan tidak toleran

Bagi orang yang awam ilmu dan wawasan agama, propaganda kelompok radikalis dan teroris ini bisa menarik perhatian, meski sebenarnya menyesatkan. Orang-orang yang memiliki semangat tinggi dalam beragama namun tidak dibarengi dengan penguatan wawasan dan pemahaman tentang agama tersebut akan mudah terbujuk oleh para radikalis dan teroris ini, karena mereka dianggap mampu menunjukkan jalan pintas menjadi pengantin, atau penghuni surga. 

Kelompok ini, pada umumnya, hanya meyakini satu versi kebenaran, dan menutup peluang kebenaran dari kelompok lain. Mereka selalu mengupayakan penyeragaman keyakinan sesuai apa yang diyakini semata, dan tidak menerima perbedaan dan kemajemukan. Apapun dan siapapun yang bertentangan dengan ideologi dan propaganda mereka akan dianggap musuh dan, oleh karenanya, layak diperangi. Mereka ini jelas membahayakan kerukunan hidup masyarakat Indonesia yang majemuk.

Tugas pesantren, dalam hal ini, tidaklah mudah karena ia harus bisa menunjukkan dan meyakinkan masyarakat perihal cara berislam yang benar sesuai ajaran Nabi melalui para sahabat, tabi’in, dan ulama-ulama shalih terdahulu. Tidak mudah karena peran sebagai Duta Islam ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan membekali para santri dengan pengajaran kitab-kitab kuning. Lebih dari itu, para santri mesti juga diberi wawasan kebangsaan dan diperkenalkan dengan isu-isu dunia Islam terkini. 

Penyeimbangan dua tradisi keilmuan (tradisional dan kontemporer) ini penting dilakukan karena persoalan ideologi adalah persoalan pertarungan wacana, dan pertarungan wacana seringkali rumit karena ia membutuhkan banyak referensi. Tanpa pemahaman yang baik tentang wawasan kebangsaan dan perkembangan Islam terkini, seseorang akan kesulitan mendeteksi jalan pikiran radikal orang lain untuk kemudian dicarikan solusinya. 

Pesantren diharapkan bisa terus bersikap produktif dan kontributif dalam merespon isu-isu keindonesiaan, selain tetap bersikap protektif dan adaptif dalam menjaga tradisinya sebagaimana maqolah yang masyhur di lingkungan pesantren, yaitu al-Muhafadhoh ‘ala al-Qodim ash-Sholih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah, atau menjaga tradisi lama yang masih relevan dan mengadopsi tradisi baru yang terbaik atau memberi kemaslahatan.

Akhirnya, pesantren tidak boleh hanya mengambil peran sebagai penjaga moral semata, tetapi juga harus istiqomah memberi sumbangsih-sumbangsih nyata dalam upaya menjaga keutuhan bangsa dan memajukan negara. Semoga.
*
Muhammad Jauhari Sofi, Alumnus Pondok Pesantren Fathul Huda, Karanggawang, Demak


Terkait