Opini

Pemikiran KH Hasyim Asy’ari sebagai Kerangka Dasar Pendidikan di Indonesia

Jumat, 1 Agustus 2025 | 13:58 WIB

Pemikiran KH Hasyim Asy’ari sebagai Kerangka Dasar Pendidikan di Indonesia

Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari (Foto: NU Online)

Perubahan regulasi pendidikan dasar dan menengah Indonesia yang tertuang dalam Permendikdasmen No. 13 Tahun 2025 bukan sekadar penyesuaian administratif terhadap struktur kurikulum, melainkan mencerminkan perubahan paradigma mendalam dalam cara kita memaknai pendidikan. Di tengah derasnya tantangan global—termasuk transformasi teknologi, dinamika sosial, dan tuntutan kualitas karakter—pemerintah memandang perlu untuk menata ulang kerangka dasar kurikulum agar lebih berakar pada nilai-nilai luhur bangsa sekaligus adaptif terhadap zaman. 


Hal ini ditegaskan dalam bagian konsiderans regulasi tersebut bahwa kurikulum baru ini dirancang untuk “membangun manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berkarakter Pancasila” serta mampu merespons “kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan global, dan keragaman sosial dan budaya.” 


Dengan demikian, perubahan ini tidak berdiri di ruang hampa, melainkan merupakan respons strategis terhadap kegelisahan kolektif atas arah pendidikan yang terlalu teknokratis namun kurang berakar pada kebijaksanaan kultural dan spiritual bangsa sendiri.


Salah satu inovasi utama dalam perubahan ini adalah diadopsinya pendekatan pembelajaran mendalam (deep learning) sebagai prinsip dasar dalam proses belajar-mengajar. Dalam pidato pengantarnya, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah menyatakan bahwa pembelajaran mendalam tidak hanya bertujuan untuk menghasilkan siswa yang cerdas secara kognitif, tetapi juga utuh secara moral, spiritual, dan sosial. 


Deep learning, menurut dia, menuntut lebih dari sekadar hafalan dan penguasaan konten; ia menekankan refleksi, keterlibatan emosional, dan relevansi terhadap kehidupan nyata. Pendekatan ini memosisikan peserta didik sebagai subjek aktif dalam pembelajaran yang sadar, bermakna, dan menggembirakan. Di sinilah pentingnya nilai-nilai kultural dan religius dijadikan referensi utama dalam kerangka filosofis kurikulum. 


Dalam konteks ini, munculnya nama-nama besar tokoh bangsa seperti Ki Hajar Dewantara, KH Ahmad Dahlan, Romo Y.B. Mangunwijaya, dan terutama Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari sebagai rujukan dalam lampiran resmi Permendikdasmen menjadi tonggak penting pengakuan negara atas kontribusi pemikiran pendidikan berbasis kearifan lokal dan keagamaan.


Khusus bagi kalangan pesantren dan masyarakat Nahdlatul Ulama, masuknya nama Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari dalam dokumen resmi kebijakan kurikulum nasional bukan hanya simbolik, tetapi juga menunjukkan rekognisi substantif terhadap gagasan pendidikan Islam Nusantara. 

 

Dalam Lampiran I bagian Landasan Filosofis Permendikdasmen disebutkan bahwa KH Hasyim Asy’ari menekankan pentingnya membentuk manusia yang beriman, bertakwa, dan sejahtera melalui pendekatan yang inklusif, bermutu, dan relevan. Bahkan nilai-nilai mabadi khaira ummah seperti integritas, etos kerja, dan keadilan—yang selama ini menjadi ruh dalam pendidikan pesantren—disebut secara eksplisit sebagai dasar pendidikan karakter dalam pembelajaran yang moderat dan adaptif. 

 

Ini merupakan momen penting di mana arus utama pendidikan nasional mulai membuka diri terhadap warisan keilmuan para ulama dan mengintegrasikannya ke dalam arsitektur kebijakan negara secara formal dan fungsional.


Landasan Filosofis dalam Permendikdasmen No. 13 Tahun 2025
Revisi kurikulum dalam Permendikdasmen No. 13 Tahun 2025 memperkenalkan Kerangka Dasar Kurikulum sebagai fondasi filosofis dan teknis dalam merancang pengalaman belajar yang bermakna di semua jenjang pendidikan dasar dan menengah. Dokumen ini bukan sekadar instrumen administratif, melainkan cerminan visi besar pendidikan nasional yang diharapkan dapat menumbuhkan manusia Indonesia seutuhnya. 

 

Dalam lampiran resminya, Kerangka Dasar Kurikulum memuat enam elemen penting: tujuan, prinsip, landasan filosofis, landasan sosiologis, landasan psikopedagogis, dan pendekatan pembelajaran mendalam. Keenam elemen ini saling menopang dalam menciptakan sebuah sistem pendidikan yang tidak hanya adaptif terhadap perubahan zaman, tetapi juga berakar kuat pada nilai-nilai kearifan bangsa.


Unsur landasan filosofis menjadi bagian paling fundamental karena menentukan arah, nilai, dan makna dari seluruh proses pendidikan. Di sinilah pemikiran para tokoh nasional seperti Ki Hajar Dewantara, KH Ahmad Dahlan, Romo Y.B. Mangunwijaya, dan KH Hasyim Asy’ari dikutip dan dikembangkan. Mereka tidak dihadirkan semata sebagai simbol kebhinekaan pemikiran, melainkan sebagai fondasi ideologis untuk membentuk karakter bangsa yang cerdas, merdeka, dan berakhlak. 

 

Keberadaan pemikiran para tokoh ini membuktikan bahwa pendidikan Indonesia dibangun di atas fondasi peradaban yang kokoh—bukan sekadar mengejar capaian akademik, tetapi membentuk manusia Indonesia yang mampu berpikir kritis, bertindak adil, dan hidup berlandaskan nilai spiritual dan sosial.


Di antara tokoh yang dikutip secara eksplisit dalam bagian ini adalah Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan pelopor pendidikan berbasis pesantren. Dalam halaman 2 lampiran Permendikdasmen tersebut, tertulis:


“KH Hasyim Asy’ari menekankan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang beriman, bertakwa, dan sejahtera melalui pendekatan yang inklusif, bermutu, dan relevan” Pernyataan ini tidak hanya mengafirmasi peran penting nilai-nilai keagamaan dalam pendidikan nasional, tetapi juga menandai era baru integrasi pemikiran pesantren dalam mainstream kurikulum sekolah formal. Pendekatan yang inklusif, bermutu, dan relevan mencerminkan gagasan KH Hasyim Asy’ari yang menekankan pentingnya ilmu yang bermanfaat dan akhlak yang terjaga dalam proses belajar.


Pemilihan Hadratussyekh sebagai rujukan filosofis tentu bukan tanpa alasan. Gagasan beliau yang berakar pada nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah telah terbukti melahirkan generasi santri yang tidak hanya cakap dalam ilmu agama, tetapi juga mampu berdialog dengan realitas zaman. 


Integritas, Etos Kerja dan Keadilan dalam Pandangan Hadratussyekh 
Nilai integritas dalam pandangan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari sangat terkait dengan keikhlasan dan kejujuran dalam menuntut ilmu. Dalam Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim, beliau menegaskan bahwa seorang penuntut ilmu harus menjaga niatnya semata-mata karena Allah, bukan untuk mencari kedudukan, harta, atau pengaruh. Niat yang lurus menjadi pondasi akhlak keilmuan, di mana ilmu hanya akan membawa keberkahan jika disandarkan pada ketulusan hati.

 

Bahkan, beliau mengutip hadis Nabi ﷺ yang menyatakan bahwa “Barangsiapa menuntut ilmu yang seharusnya diniatkan untuk mencari ridha Allah tetapi justru dimaksudkan untuk mendapatkan dunia, maka ia tidak akan mencium bau surga.” Ini menunjukkan bahwa integritas intelektual dan spiritual menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam tradisi pesantren, dan menjadi pondasi dalam pembelajaran yang bermartabat.


Nilai etos kerja atau jiddiyyah (kesungguhan) juga menjadi salah satu poin sentral dalam kitab tersebut. KH Hasyim Asy’ari mewasiatkan agar pelajar senantiasa tekun, tidak bermalas-malasan, dan menghormati waktu. Dalam kitab tersebut ditegaskan bahwa seorang penuntut ilmu tidak boleh tidur atau bermain-main secara berlebihan, dan harus membagi waktu secara disiplin antara belajar, beribadah, dan istirahat. 

 

Hadratussyekh bahkan menyitir tradisi ulama salaf yang rela mengorbankan waktu tidur malam demi mengulang pelajaran dan memperdalam pemahaman. Ini adalah bentuk etos belajar yang kuat—bahwa ilmu tidak akan bisa diraih dengan santai atau sekadar menunggu instruksi guru, tetapi harus disertai kerja keras, pengorbanan, dan semangat yang terus menyala.


Sementara itu, nilai keadilan dalam Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim tercermin dalam adab terhadap guru, sesama murid, dan terhadap ilmu itu sendiri. Keadilan dalam konteks ini bukan sekadar persoalan hukum atau distribusi materi, tetapi mewujud dalam sikap seimbang dalam memberi penghormatan, tidak mendahului guru dalam bicara, tidak mencela pendapat teman, serta bersikap tawadhu terhadap orang lain yang sama-sama belajar. Hadratussyekh menyebutkan bahwa ilmu tidak akan tumbuh subur di hati yang sombong atau senang meremehkan orang lain. Maka, keadilan menjadi wujud nyata dari adab sosial dalam komunitas belajar—memberi tempat yang proporsional kepada siapa pun berdasarkan adab, bukan status.


Ketiga nilai tersebut—integritas, etos kerja, dan keadilan—bila dilihat secara keseluruhan, membentuk kerangka moral yang sangat kuat dalam sistem pendidikan yang diajarkan oleh KH Hasyim Asy’ari. Ia tidak hanya mendidik murid menjadi cerdas, tetapi juga menjadi manusia utuh yang mampu menjaga akhlak, bekerja keras, dan hidup dalam relasi yang adil terhadap sesama. Nilai-nilai ini kini diadopsi dalam dokumen resmi negara sebagai bagian dari fondasi pendidikan nasional, khususnya dalam kerangka pembelajaran moderat dan adaptif. Dengan demikian, warisan pesantren tidak lagi menjadi domain eksklusif lembaga tradisional, tetapi telah menjadi rujukan dalam membangun generasi pembelajar Pancasila yang unggul dan beradab.


Spirit Ta’dzim dan Etika Pendidikan
Permendikdasmen No. 13 Tahun 2025 secara eksplisit menegaskan pentingnya nilai penghormatan dalam dunia pendidikan, sebagaimana tertulis dalam lampiran halaman 3: “Semangat saling memuliakan dalam lingkungan pendidikan, sebagaimana diajarkan oleh KH Hasyim Asy’ari, berpusat pada penghormatan mendalam terhadap tiga elemen penting: guru, teman sejawat, dan sumber ilmu.” 


Pernyataan ini tidak hanya menggambarkan norma sosial, melainkan mencerminkan nilai spiritual yang telah lama hidup dalam tradisi pesantren. Dalam konteks tersebut, penghormatan atau ta’dzīm menjadi pilar utama pembelajaran yang tidak hanya membentuk etika individual, tetapi juga menciptakan atmosfer keilmuan yang berkah dan bermartabat. Ta’dzim bukan sekadar tata krama formal, tetapi jalan untuk membuka keberkahan ilmu, karena dalam pandangan para ulama, adab selalu didahulukan sebelum ilmu.


Ajaran ta’dzīm ini dijelaskan secara sistematis oleh KH Hasyim Asy’ari dalam Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim. Di sana beliau menyampaikan bahwa menghormati guru berarti mendudukkannya sebagai perantara ilmu dan pembimbing akhlak, dengan cara tidak bersuara keras di hadapannya, tidak membantah pendapatnya secara emosional, serta menjaga sikap tubuh dan wajah saat belajar. Teman sejawat pun harus dihormati dalam semangat ukhuwah dan kesetaraan, karena setiap murid adalah cermin bagi yang lain. Sumber ilmu—baik buku, papan tulis, maupun tempat belajar—juga perlu dijaga kesuciannya, karena di situlah keberkahan ilmu dipancarkan. Dalam pandangan Hadratussyekh , tidak akan tumbuh kebermanfaatan ilmu pada murid yang tidak memuliakan gurunya, atau yang meremehkan sesama pelajar.


Dalam praktik pendidikan masa kini, semangat ta’dzīm ini sangat relevan untuk dihidupkan kembali sebagai fondasi budaya sekolah. Ketika penghormatan dijadikan prinsip dalam relasi guru-murid, akan tercipta suasana belajar yang penuh adab, kolaboratif, dan saling percaya. Siswa tidak hanya belajar dari konten materi, tetapi juga menyerap etika bersikap dan berinteraksi.

 

Demikian pula antar-peserta didik, budaya saling menghargai dapat mengikis bullying, kompetisi yang toksik, dan perilaku merendahkan yang kerap muncul di ruang kelas modern. Dengan menjadikan ta’dzīm sebagai sistem nilai, pendidikan Indonesia tidak hanya mengejar kecakapan kognitif, tetapi juga menumbuhkan generasi yang beradab, berkarakter, dan berakhlak luhur sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri bangsa dan ulama besar Nusantara.


Pembelajaran Mendalam sebagai Perwujudan Falsafah Hadratussyekh 
Dalam lampiran halaman 5 Permendikdasmen No. 13 Tahun 2025, ditegaskan bahwa “Pembelajaran mendalam juga menumbuhkan semangat saling memuliakan di lingkungan pendidikan, dengan menempatkan penghormatan sebagai inti dari proses pembelajaran. Sebagaimana diajarkan oleh KH Hasyim Asy’ari, lingkungan pendidikan yang baik harus mencerminkan penghormatan terhadap guru, teman sejawat, dan sumber ilmu.”

 

Pernyataan ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip pendidikan yang diajarkan oleh Hadratussyekh tidak hanya menjadi nilai historis, tetapi telah diadopsi sebagai prinsip kerja pendidikan modern. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai ta’dzīm dalam desain pembelajaran mendalam, kurikulum nasional menjadikan adab dan penghormatan sebagai titik mula dan arah dari proses belajar.


Salah satu wujud konkret dari integrasi ini adalah penerapan sistem among—asah, asih, dan asuh—yang selaras dengan semangat pesantren yang menjunjung tinggi ta’dzīm. Dalam pembelajaran mendalam, siswa tidak hanya diharapkan menjadi penerima informasi, melainkan partisipan aktif yang belajar dengan rasa hormat terhadap guru, saling mendukung dalam kolaborasi sejawat, serta menjaga kerendahan hati dalam pencarian ilmu. Ini sejalan dengan prinsip ta’dzīm dalam Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim yang mengajarkan bahwa keberkahan ilmu terletak pada hubungan yang tulus dan hormat antara semua elemen pendidikan. Pembelajaran mendalam bukan hanya menuntut kecerdasan intelektual, tetapi juga membangun iklim emosional dan spiritual yang kondusif bagi pertumbuhan batin peserta didik.


Falsafah Hadratussyekh sejatinya mengajarkan bahwa pendidikan adalah proses penyempurnaan manusia secara utuh—mengasah akal, membersihkan hati, dan mengarahkan tindakan. Dalam kerangka pembelajaran mendalam, hal ini terwujud dalam upaya menggabungkan dimensi kognitif (olah pikir), afektif (olah hati), estetis (olah rasa), dan psikomotorik (olah raga) secara holistik dan terpadu. Pendidikan tidak lagi sekadar mengejar nilai ujian, tetapi menjadi jalan transformasi pribadi dan sosial.

 

Maka, memasukkan nilai-nilai KH Hasyim Asy’ari ke dalam kebijakan pendidikan nasional bukanlah langkah simbolis semata, tetapi merupakan usaha sungguh-sungguh untuk menjadikan pendidikan sebagai wahana lahirnya insan yang bermartabat, bijak, dan membawa maslahat.


Signifikansi Strategis: Pengakuan Negara atas Warisan Ulama
Pencantuman nama Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari secara eksplisit dalam lampiran Kerangka Dasar Kurikulum Permendikdasmen No. 13 Tahun 2025 bukan hanya pengakuan simbolik, tetapi merupakan langkah historis yang mencerminkan penghormatan negara terhadap warisan pemikiran ulama. Selama bertahun-tahun, pesantren dan tokoh-tokohnya memberikan kontribusi besar dalam membentuk karakter bangsa, namun sering kali luput dari peta resmi kebijakan pendidikan nasional.

 

Kini, saat negara mengakui pentingnya membentuk manusia yang tidak hanya cerdas tetapi juga beradab, spiritual, dan berkepribadian luhur, ajaran Hadratussyekh hadir sebagai fondasi yang kokoh dan kontekstual. Ini adalah bentuk keberpihakan negara kepada nilai-nilai keilmuan yang telah mengakar di masyarakat sejak lama.


Dengan dimasukkannya pemikiran KH Hasyim Asy’ari, posisi pesantren sebagai sumber inspirasi pendidikan nasional semakin kokoh. Pesantren bukan lagi dianggap sebagai entitas terpisah dari sistem pendidikan modern, melainkan menjadi bagian yang integral dan saling melengkapi. Nilai-nilai seperti ta’dzīm, ikhlas menuntut ilmu, dan kesungguhan dalam belajar kini dijadikan basis dari konsep pembelajaran mendalam yang dicanangkan pemerintah.

 

Ini membuktikan bahwa pesantren memiliki daya hidup dan relevansi lintas zaman, bukan hanya menjaga tradisi keilmuan, tetapi juga menjadi motor etika dan kebajikan dalam arus besar transformasi pendidikan abad ke-21. Pesantren adalah tempat di mana ilmu dan akhlak berjalan seiring, dan kini spirit itu diadopsi dalam ruang-ruang kelas sekolah formal di seluruh Indonesia.


Lebih jauh, pengakuan ini membuka peluang besar untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam Nusantara dalam kurikulum nasional. Islam yang ramah, moderat, dan menghargai kearifan lokal—sebagaimana dicontohkan oleh para ulama seperti KH Hasyim Asy’ari—dapat menjadi benteng moral di tengah krisis etika global. Kurikulum yang terinspirasi dari pesantren akan membentuk generasi yang tidak hanya cakap teknologi, tetapi juga kuat dalam prinsip, santun dalam pergaulan, dan adil dalam berpikir. Dalam konteks ini, Permendikdasmen bukan sekadar regulasi pendidikan, melainkan naskah peradaban yang mengabadikan nilai-nilai luhur ulama untuk masa depan Indonesia yang lebih berakar, beriman, dan berkemajuan.
*


Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari bukan hanya tokoh historis dalam catatan perjalanan umat Islam Indonesia, tetapi kini telah ditegaskan sebagai salah satu fondasi filosofis pendidikan nasional. Pemikirannya yang tertuang dalam Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim telah menjelma menjadi prinsip yang relevan dalam sistem pendidikan modern—bahkan diadopsi langsung dalam struktur kurikulum dasar dan menengah. Ketika nilai-nilai adab, integritas, etos kerja, dan keadilan dijadikan panduan pembelajaran mendalam, kita sesungguhnya sedang mempraktikkan warisan pemikiran beliau dalam konteks kekinian. Dengan demikian, hadirnya nama beliau dalam dokumen negara bukanlah bentuk romantisme sejarah, tetapi wujud aktualisasi nilai-nilai luhur yang telah teruji lintas generasi.


Kita perlu menyadari bahwa pendidikan bukan hanya tentang menghasilkan lulusan yang pandai, tetapi juga membentuk manusia yang berkarakter dan bermartabat. Dalam dunia yang semakin terdistraksi oleh kecanggihan teknologi dan arus pragmatisme, nilai-nilai yang diajarkan Hadratussyekh menjadi pelita untuk menuntun arah pendidikan ke jalan yang benar: pendidikan yang memuliakan manusia, menghargai ilmu, dan menghadirkan keberkahan. Sudah saatnya nilai-nilai ini dijadikan rujukan hidup, tidak hanya di pesantren atau madrasah, tetapi juga di sekolah-sekolah umum, kampus-kampus, bahkan dalam ruang-ruang kebijakan negara. Pendidikan Indonesia akan menemukan jati dirinya jika ia bersandar pada nilai yang membumikan ilmu dan mengangkaskan akhlak.


Harapan kita bersama, pencantuman pemikiran KH Hasyim Asy’ari dalam Permendikdasmen menjadi pintu pembuka bagi keberlanjutan integrasi nilai-nilai spiritualitas, moralitas, dan kebangsaan dalam kurikulum. Ini bukan akhir dari perjalanan, tetapi awal dari gerakan besar untuk membumikan pendidikan yang berkarakter dan berkeadaban. Semoga semangat Hadratussyekh terus menyala di hati para pendidik, menjadi denyut nadi dalam ruang kelas, dan mewarnai wajah generasi masa depan Indonesia: cerdas secara intelektual, bersih hati nurani, dan teguh dalam menebar maslahat.

 

Puji Raharjo Soekarno, Ketua PWNU Lampung