NU Online: Medan Gagasan, Godaan Politik Elite dan AI, hingga Gerakan
Jumat, 11 Juli 2025 | 19:01 WIB
Dua puluh dua tahun bukanlah waktu singkat bagi sebuah media daring yang berakar pada tradisi keormasan. Hingga saat ini, bisa dikatakan NU Online adalah media ormas sekaligus media keislaman terkuat yang pernah ada. Sejak kelahirannya pada 2003, NU Online menjadi medan tempur gagasan, kanal distribusi fikih moderat, dan benteng narasi Ahlussunnah wal Jamaah.
Di tengah pasang surut politik kekuasaan, regresi demokrasi, dan ancaman artificial intelligence (AI) terhadap masa depan kerja-kerja jurnalistik, eksistensinya justru semakin penting sekaligus rumit.
Sebagai seseorang yang sejak 2008 wara-wiri sedikitnya menyokong kerja-kerja NU Online, saya menyaksikan sendiri betapa platform ini bukan sebatas mesin distribusi berita organisasi, melainkan ruang diskursif generasi muda NU menemukan bahasa dan sikap keislaman mereka. Tidak reaktif, tidak mudah terseret arus kebencian, dan tetap berpijak pada kebijaksanaan.
Dari Kanalisasi Informasi ke Arena Wacana
Dalam sejarahnya, NU Online semula dibentuk sebagai respons atas keterbatasan media arus utama dalam memberitakan kiprah NU secara adil. Berkat para inisiator seperti Abdul Mun’im Dz, Savic Ali, Mukafi Niam, A. Khoirul Anam dan lainnya, situs ini dengan cepat menjadi semacam “rumah digital” bagi warga Nahdliyin yang terpencar.
Dalam buku The Missing Middle: Rethinking the Role of Religious Organizations in the Digital Age, Peter Mandaville menyebut bagaimana organisasi keagamaan di dunia Islam mulai menanam pengaruhnya bukan lagi di mimbar, tetapi di ruang-ruang daring yang cair dan partisipatif. NU Online adalah pengejawantahan adaptif dari kecenderungan global ini.
Namun seiring waktu, tantangan yang dihadapi menjadi lebih struktural. Ketika media besar arus utama satu per satu merumahkan para jurnalis dan bagian manajemennya karena ketergantungan pada klik, iklan dan algoritma, NU Online justru dituntut tidak hanya menjadi kanal berita organisasi, tapi juga rumah narasi kebangsaan. Di sinilah posisi dan sikap dilematis itu muncul, bagaimana menjaga independensi di saat kedekatan dengan struktur kekuasaan membuatnya rawan menjadi corong?
Regresi Demokrasi dan Bayang-bayang Kekuasaan
Di tengah regresi demokrasi dengan pembungkaman suara kritis, dominasi oligarki politik, dan kooptasi organisasi keagamaan, NU sebagai organisasi juga tak luput dari dinamika tersebut. Di abad keduanya, NU diharapkan mampu mengimbangi sebagai peradaban sipil, tetapi gejalanya justru tampak berjarak dengan dinamika keumatan.
Baca Juga
NU Online Resmi Terverifikasi Dewan Pers
Dalam laporan Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan bahwa 20 persen warga Indonesia mengaku sebagai anggota Nahdlatul Ulama (NU), dengan rincian 8,6 persen merupakan anggota aktif dan 11,7 persen tidak aktif. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan keanggotaan kelompok sosial lain seperti serikat pekerja atau kelompok tani/nelayan yang hanya sekitar 15 persen, serta jauh melampaui Muhammadiyah yang hanya sekitar 3 persen. Suara 20 persen tersebut belum termasuk jamaah kultural.
Pendiri SMRC, Saiful Mujani, menegaskan bahwa besarnya basis massa inilah yang menjadikan NU begitu menarik bagi semua kekuatan politik, karena secara empiris NU bukan hanya ormas keagamaan, tapi juga kekuatan sosial dan politik yang riil di tengah masyarakat.
Ini tantangan besar bagi NU Online. Apakah ia akan tetap menjadi instrumen legitimasi segelintir elite NU, atau justru kembali ke khittahnya sebagai medium edukasi umat? Karena jika hanya jadi tentakel kekuasaan, NU Online akan kehilangan jiwa sebagai ruang aman bagi nalar kritis dan spiritualitas yang membumi.
Teknologi dan Gejolak AI
Sebagaimana media lain, NU Online tak kebal dari gejolak zaman. Munculnya generative AI seperti ChatGPT, DeepSeek dan aplikasi lainnya membuka dua sisi. Pertama, potensi efisiensi. Kedua adanya ancaman terhadap orisinalitas dan lapangan kerja. Artikel-artikel dakwah bisa dihasilkan dalam hitungan detik. Tetapi tanpa ruh dan kearifan tradisi pesantren, semua itu jadi deretan kata yang sedapatnya tidak dimengerti dalam logika keagamaan ala NU.
Clay Shirky dalam Here Comes Everybody: The Power of Organizing Without Organizations (2008) menjelaskan bagaimana alat sosial digital memungkinkan terbentuknya komunitas tanpa harus melewati struktur institusional yang berat dan birokratis.
Dalam konteks NU Online, pandangan Shirky ini sangat relevan. NU Online telah berkembang dari sekadar corong organisasi menjadi ruang digital yang hidup, tempat jamaah NU dari berbagai penjuru dapat terhubung, berdiskusi, dan membentuk ekosistem wacana yang cair dan partisipatif. Tanpa harus menunggu instruksi dari pusat, warga Nahdliyin dapat berkontribusi pada narasi besar keislaman dan kebangsaan melalui tulisan, komentar, atau diskusi daring.
Inilah yang disebut Shirky sebagai pemanfaatan “alat sosial” menyatukan kelompok dengan biaya sosial lebih rendah daripada mekanisme organisasi formal.
Lebih dari itu, Shirky juga menyinggung soal amatirisasi massal, yakni kondisi ketika siapa pun dapat menjadi produsen informasi. NU Online berhasil mengelola gejala ini dengan menyediakan kurasi konten yang tetap berbasis sanad keilmuan, tetapi terbuka pada partisipasi luas dari jaringan pesantren, akademisi muda, hingga aktivis komunitas.
Di sinilah NU Online memainkan peran sebagai jembatan antara otoritas keagamaan tradisional dengan dinamika ruang digital yang cepat, deliberatif dan desentralistik. Ia merangkul logika jaringan tanpa melepaskan akar pengetahuan pesantren, sekaligus memposisikan jamaah NU bukan semata-mata objek dakwah, melainkan subjek aktif pembentukan narasi keislaman kontemporer.
Namun Shirky juga mengingatkan bahwa kekuatan alat sosial digital tak selalu menghasilkan kebaikan. Ketika tekanan publik daring dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan sempit, media seperti NU Online menghadapi ujian etis, bagaimana tetap membuka ruang dialektika tanpa tunduk pada populisme digital.
Di sinilah NU Online diuji. Menjaga maqashid syariah dan prinsip Ahlussunnah wal Jamaah dalam arus besar opini, tanpa kehilangan arah dan integritas. Dengan menjaga kombinasi antara janji yang masuk akal, alat yang efektif, dan kesepakatan sosial yang inklusif, sebagaimana digariskan Shirky, NU Online bisa terus menjadi penjaga nalar kritis umat di tengah riuhnya abad digital.
Terbukti tugas NU Online bukan hanya menyajikan berita, tetapi membangun kurasi wacana demokrasi. Seperti pesan Gus Dur dalam sebuah wawancara Majalah Tempo No.31 Th.XXI, 28 September 1991:
“Demokrasi itu sistem politik yang memungkinkan orang untuk melakukan dialog politik yang benar, dan memproses pengambilan keputusan itu secara demokratis, secara aspirasi rakyat yang diangkat secara matang. Bukan asal orang banyak. Ada sendi-sendi demokrasi yang tak bisa ditawar. Misalnya kebebasan dan persamaan di hadapan undang-undang. Kalau ini nggak ada, ya, bukan demokrasi namanya, apa pun embel-embelnya. Taruhlah demokrasi Islam. Ukurannya sama saja. Mau demokrasi Islam atau demokrasi rakyat yang komunis, demokrasi liberal atau Pancasila. Apakah kelompok minoritas mengakui pendapatnya, mendengarkan, dan melakukan dialog yang jujur demi kepentingan bersama?”
Dari Media ke Gerakan?
NU Online hari ini memiliki peluang strategis. Ia bisa menjelma menjadi gerakan media, yakni ekosistem yang bukan hanya memberitakan NU, tetapi membentuk warga NU yang melek informasi, melek sejarah, dan melek kebijakan publik. Di tengah meningkatnya konservatisme di ruang digital, peran ini semakin urgen.
Berbeda dengan Islami.co yang tidak segan membahas isu-isu sensitif seperti hak minoritas, perubahan iklim, dan keadilan gender, tanpa kehilangan akar Islamnya. Dalam konteks ini, NU Online setidaknya perlu berani mempertimbangkan lebih jauh memfasilitasi ruang literasi kebangsaan, membuka ruang tafsir fikih sosial, dan tidak terlalu jauh bernegosiasi dengan kepentingan melegitimasi politik praktis.
Jika abad pertama NU ditandai oleh konsolidasi kelembagaan, maka abad kedua butuh penanda adanya konsolidasi nalar kritis publik. Dan NU Online dengan sejarah, kapasitas, dan kredibilitasnya selalu jadi pelopor garis depan.
Tapi untuk itu, diperlukan keberanian. Keberanian menjalani godaan sebagai buzzer segelintir elite NU. Keberanian mengangkat suara-suara dari bawah, dari kampung-kampung pedalaman dan wilayah Indonesia Timur yang selama ini belum disuarakan. Dan keberanian bersiasat dalam regresi demokrasi, bahkan jika itu datang dari dalam rumah sendiri.
Kedewasaan memikul tanggung jawab sejarah dengan reputasinya, saya percaya, selama masih ada ruang bagi pena yang jujur dan kritis, NU Online mampu mengemban arah sejarah. Bukan karena NU Online telah sempurna, tetapi karena peduli pada masa depan generasi mudanya.
Dan itu, di zaman sekarang, lebih dari 2 dasawarsa, NU Online punya keberanian yang langka.
Abi S Nugroho, pengurus Lakpesdam PBNU