Oleh Al-Zastrouw Ngatawi
Senin (2/4/2018) pagi pukul 10 saat udara Den Haag masih dingin dan berkabut, rombongan Ki Ganjur berangkat ke Hamburg. Rombongan berangkat dengan carter bus dengan sopir yang sangat ramah bernama William. Perlu waktu sekitar 7 jam untuk sampai di Hamburg.
Rombongan berhenti istirahat setelah masuk beberapa kilometer perbatasan, setelah menempuh perjalanan selama 4 jam. Ini sesuai dengan peraturan lalu lintas di Eropa yang mengharuskan pengemudi istirahat setelah 4 jam perjalanan.
Sekitar jam 5 sore rombongan sampai KJRI di Jalan Bebelallee Nomor 15, Hamburg. Rombongan disambut para pejabat Konsulat di antaranya Bu Dewi, Pak Muller, Ketua Panitia Mas Yudi dan para pengurus PCINU Jerman: Gus Oding, Mas Wahyu, dan mas Angga serta pengurus lainnya.
Setelah loading dan setting peralatan di KJRI rombongan berangkat ke wisma KJRI yang terletak di Jalan DroysenstraBe, Othmarschen. Perlu waktu 25 menit dari kantor KJRI ke wisma KJRI untuk istirahat.
Sampai di wisma KJRI rombongan diterima oleh Konjen RI di Hamburg, Bapak Bambang Susanto beserta ibu. Suasana akrab dan penuh kekeluargaan sangat terasa di sini. Kami ngobrol dengan Pak Konjen dan teman-teman yang tinggal di Hamburg soal sejarah dan kondisi sosial di Hamburg. Selepas ngobrol dan foto-foto, rombongan langsung makan malam dan dilanjutkan dengan isitrahat
Hamburg adalah kota terbersih di Eropa Barat. Selain itu, Hamburg juga menyandang kota yang sangat peduli pada lingkungan. Kepedulian sosial dan bisnis ditanamkan mulai kecil melalui pendidikan magang sejak SD. Saat kelas 5 SD anak-anak diberi tugas kerja sosial dan magang di tempat kerja sesuai pilihan masing-masing. Ada yang jadi pelayan toko, tukang cuci di piring di restoran, nemelihara ternak, dan sebagainya.
Mereka diberi upah dari tempat kerja mereka. Hal ini dimaksudkan untuk memberi pengalaman bagaimana susahnya mencari uang agar mereka bisa menghargai uang. Uang hasil kerja ini tidak boleh mereka nikmati, tetapi dikumpulkan untuk disumbangkan ke panti sosial. Di sinilah mereka dididik untuk peduli pada sesama. Perusahaan yang mempekerjakan anak-anak akan mendapat potongan-potongan pajak sebesar gaji yang diberikan pada anak-anak tersebut.
Selain kota terbersih dan peduli lingkungan, Hamburg juga terkenal sebagai kota dengan derajat toleransi tinggi. Umat Islam di sini mendapat perlindungan dan perlakuan yang sama dengan umat lain. Ada 120 ribu umat Islam di Hamburg dari 4 juta umat Islam Jerman. Di sini juga terdapat Islamic Centre (Islamiseches Zentrum) Hamburg yang berdiri tahun 1950.
Pada tahun 2013 tepatnya 13 November, Islam di Hamburg diakui sebagai agama resmi, sejajar dengan agama lain: Kristen dan Protestan. Pengakuan ini ditetapkan oleh Walikota Hamburg Olaf Scholz. Sebelumnya Islam hanya dianggap sebagai budaya atau agama illegal. Dengan penetapan Islam sebagai agama resmi, Islam di Hamburg memiliki hak yang sama dengan agama lain.
Menurut Galestone Institute, Islam punya hak memberi kurikulum pengajaran Islam di Sekolah. Memiliki hak siar publik di TV dan media lain. Pendeknya, dengan pengakuan ini umat Islam di Hamburg lebih leluasa mengekspresikan ajaran agamanya. Bahkan para pengungsi Muslim yang datang di Hamburg mendapat perlindungan, biaya hidup dan tempat tinggal yang layak dari Pemerintah Kota Hamburg.
Sayangnya suasana toleransi yang sudah sangat baik dan perhatian pemerintah Hamburg yang positif ini sering dimanfaatkan secara berlebihan oleh para imigran. Selain itu gerakan Islam radikal dengan berbagai tindak kekerasan yang dilakukan sekelompok orang dengan mengatasnamakan Islam justru merusak suasana yang sudah kondusif ini. Tindakan tersebut tidak saja membuat citra Islam menjadi buruk tetapi bisa mengancam umat Islam yang mulai mendapat simpati.
Apa yang terjadi menunjukkan bagaimana informasi telah membentuk gelombang resonansi yang menyebar segala penjuru. Apa yang terjadi di satu tempat akan terasa getaran dan dampaknya di tempat lain. Kelakuan sekelompok orang yang mengatasnamakan agama akan menimbulkan stigma pada kelompok lain yang seagama. Ini artinya kita dituntut untuk mengedepankan kearifan dan tidak sembarangan dalam menggunakan simbol agama.
Ada baiknya semua umat Islam di dunia menjaga pengakuan yang sudah diberikan oleh pemerintah Hamburg dengan menujukkan akhlak mulia dan sikap toleran. Jika umat Islam berbuat radikal, intoleran dan kekerasan, maka akan menutup pintu toleransi yang sudah terbuka. Dan itu sama saja dengan memasang jerat untuk diri sendiri.
Tanpa terasa waktu telah menunjuk pukul 00.00 waktu setempat, segera kami menuju tempat tidur untuk beristirahat karena esok pagi harus jalan-jalan melihat Kota Hamburg dan sorenya melakukan pentas di KJRI Hamburg. Glukliche Pause...!
Penulis adalah pegiat budaya, Dosen Sekolah Pascasarjana UNUSIA Jakarta. Tulisan ini merupakan catatan perjalanan Islam Nusantara Roadshow to Europe bersama Ki Ageng Ganjur.