Saya pertama kali mengenal nama Kiai Imam Azis (wafat 12 Juli 2025) sejak masih kuliah di UNDAR Jombang sekitar tahun 1998. Waktu itu saya gemar membaca buku-buku terbitan LKiS, dan nama beliau sering muncul di sana. Namun, kesempatan untuk benar-benar bertemu dan berdialog intens dengan Kiai Imam baru hadir jauh setelahnya—yakni ketika saya mulai terlibat dalam diskusi tentang Fiqih Penyandang Disabilitas.
Oktober 2017 menjadi titik awal perjalanan itu. Saya diundang menjadi narasumber seminar nasional bertema Pesantren Inklusif dalam rangka Hari Santri Nasional di Pondok Pesantren Al-Tsaqafah, Jakarta. Acara tersebut juga dihadiri Ketua PBNU 2016–2021 KH Said Aqil Siroj. Dari sanalah saya kemudian mendapat undangan untuk turut serta dalam Bahtsul Masail Pra Munas dan Konbes NU di Purwakarta.
Sejak saat itu komunikasi saya dengan Kiai Imam Azis semakin intens. Beliau sering mengarahkan dan mendiskusikan persiapan agenda Fiqih Penyandang Disabilitas agar dapat masuk ke forum Bahtsul Masail Pra Munas dan Konbes NU, yang akhirnya benar-benar berlangsung di Pondok Pesantren Al-Muhajirin, Purwakarta, November 2017. Melalui beliau pula saya diperkenalkan kepada beberapa pengurus PBNU seperti Mas Robikin Emhas dan Kiai Sarmidi Husna, untuk memastikan topik ini matang secara teknis maupun substansial.
Saya masih ingat, sejak itu saya beberapa kali sowan ke kantor PBNU, menemui Kiai Imam. Beliau selalu terbuka, penuh semangat, dan jarang menolak diajak berdiskusi selama tidak ada agenda di luar kota. Dalam pandangan Kiai Imam, isu disabilitas memiliki urgensi yang sama dengan persoalan keumatan lain. Keberpihakan beliau begitu nyata—lahir dari sikap seorang kiai aktivis yang dekat dengan masyarakat akar rumput.
Ketika forum Bahtsul Masail berlangsung di Purwakarta, saya diberi kesempatan memaparkan urgensi Fiqih Penyandang Disabilitas. Saat itu, selain menjelaskan problematika ibadah dan muamalah yang dialami teman-teman difabel, saya juga membawa buku Disability in Islamic Law karya Vardit Rispler Chaim (University of Haifa, Israel). Dengan sedikit nada provokatif saya sampaikan kepada para musyawirin, termasuk KH Ahmad Ishomudin dan KH Moqsith Ghazali:
"Masa’ NU kalah sama Israel? Mereka saja bisa menerbitkan buku Fiqih Disabilitas. NU yang punya Lembaga Bahtsul Masail, pasti bisa lebih dari itu."
Alhamdulillah, ucapan itu mendapat sambutan positif. Para musyawirin mendukung, dan akhirnya Tim Bahtsul Masail ad-Diniyyah al-Maudlu’iyyah merekomendasikan Fiqih Penyandang Disabilitas untuk dibahas lebih lanjut dalam Munas dan Konbes NU di Lombok, NTB, 23–25 November 2017.
Perjalanan menuju Munas sangat singkat. Di sinilah peran Kiai Imam terasa begitu penting. Walau beliau tidak selalu tampil di depan, saya menyaksikan sendiri komitmen kuatnya untuk meyakinkan para kiai PBNU mendukung topik ini. Dari sisi teknis, saya bersama teman-teman LBM-NU, P3M, PSLD UB, Yakkum Yogyakarta, serta dukungan Program PEDULI - TAF, menyiapkan bahan diskusi melalui workshop dan FGD yang melibatkan perwakilan berbagai ragam disabilitas.
Akhirnya, pada Munas dan Konbes Ulama NU di Lombok, Fiqih Penyandang Disabilitas resmi menjadi topik pembahasan dan masuk dalam rekomendasi sidang pleno. Tidak berhenti di situ, proses penyempurnaan terus berjalan. Workshop demi workshop digelar, hasil Bahtsul Masail ditashih, hingga akhirnya lahirlah buku berjudul Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas. Kata “penguatan” dalam judul itu pun lahir dari arahan dan diskusi bersama Kiai Imam Azis.
Namun perjuangan tidak berhenti pada penerbitan buku. Advokasi dan lobi terus dilakukan. Berkat dukungan Kiai Imam, terjalin MoU antara PBNU dan Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI. Dari kesepahaman itu, Kemenag RI mencetak ulang seribu eksemplar Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas untuk disebarluaskan.
Kiai Imam Azis telah menunjukkan kepada saya dan banyak orang, bahwa keberpihakan pada penyandang disabilitas bukan hanya wacana, melainkan perjuangan nyata. Beliau mengajarkan bahwa inklusivitas adalah bagian dari misi besar keislaman: merangkul, bukan mengucilkan; menguatkan, bukan melemahkan.
Bahrul Fuad, inisiator Buku Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas