Nasional

RUU PPRT Sudah 21 Tahun Diperjuangkan, tapi Macet karena Lemahnya Komitmen Politik DPR

Rabu, 27 Agustus 2025 | 14:30 WIB

RUU PPRT Sudah 21 Tahun Diperjuangkan, tapi Macet karena Lemahnya Komitmen Politik DPR

Gambar hanya sebagai ilustrasi berita. (Foto: freepik)

Jakarta, NU Online

Perjuangan panjang pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) kembali disorot gerakan perempuan.


Ketua Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi, menegaskan bahwa hambatan terbesar dalam pengesahan RUU ini adalah minimnya komitmen politik DPR, meski rancangan undang-undang tersebut sudah diperjuangkan selama 21 tahun.


"Tidak ada lagi alasan. Draf RUU sudah jelas, aspirasi pekerja juga sudah tuntas diakomodasi. Tinggal satu langkah lagi, tapi selalu terhambat karena DPR tidak punya komitmen politik,” ujar Ika dalam sebuah diskusi bertajuk DPR, Demokrasi, dan Perempuan: Merdeka untuk Siapa? melalui akun Instagram Rumah Kitab, Rabu (27/8/2025).


RUU PPRT pertama kali diajukan sejak 2004, tapi hingga kini nasibnya terkatung-katung melewati empat periode pemerintahan. Padahal, bagi jutaan pekerja rumah tangga (PRT), aturan ini hanya menuntut hal yang sederhana, yakni pengakuan sebagai pekerja dengan hak yang sama seperti profesi lain.


Ika juga menyoroti ketimpangan mencolok antara kesejahteraan wakil rakyat dan pekerja, terutama perempuan. Menurutnya, isu ini mencuat setelah publik mengetahui besarnya gaji anggota DPR, yang bisa mencapai 20 kali lipat upah minimum regional (UMR) pekerja.


"Situasi ini sangat menyakitkan bagi perempuan pekerja. Sementara DPR bergaji puluhan kali lipat, para PRT masih terjebak dalam ketidakpastian: besok dipanggil kerja atau tidak, digaji layak atau tidak. Itu realitas sehari-hari," jelasnya.


Ia menilai kondisi ini semakin mempertegas arogansi elit politik yang abai terhadap rakyat.


"Demokrasi kita jauh dari substansi. Rakyat belum merdeka 100 persen, terutama perempuan pekerja yang masih diperlakukan sebagai kelas dua," tambahnya


Menurut Ika, berbagai strategi advokasi sudah ditempuh oleh organisasi pekerja rumah tangga dan masyarakat sipil. Mulai dari audiensi dengan DPR, kampanye publik, hingga mengirimkan naskah akademik. Namun, aksi massa di depan gedung DPR selalu menjadi cara terakhir untuk mendorong isu ini kembali ke meja legislasi.


"Sudah 21 tahun, perjuangan tidak pernah berhenti. Tapi berkali-kali terhalang. Kalau tidak ada aksi massa, RUU ini tidak pernah diprioritaskan," katanya.


Lebih jauh, Ika juga menyoroti minimnya representasi perempuan di lembaga legislatif. Meski ada kuota 30 persen, ia menilai kehadiran perempuan di parlemen tidak otomatis menjamin keberpihakan pada kelompok marginal.


"Ketua DPR perempuan sekalipun, kalau tidak sensitif gender dan tidak berpihak pada rakyat kecil, sama saja. Perempuan masih belum ditempatkan sebagai subjek politik yang menentukan arah pembangunan," tegasnya.


"Perjalanan 21 tahun ini bukti bahwa persoalannya bukan teknis, tapi kemauan politik. Jika DPR benar-benar berpihak, maka RUU ini seharusnya sudah lama disahkan," tambah Ika.


Sementara itu, Ketua Badan Legislasi DPR Bob Hasan menegaskan bahwa penyusunan RUU PPRT dilakukan melalui mekanisme rapat dengar pendapat (RDP) dan rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan melibatkan berbagai pihak.


Menurutnya, proses ini menjadi penting agar regulasi yang dihasilkan mampu menjawab kebutuhan pekerja rumah tangga (PRT) sekaligus sejalan dengan standar internasional.


"Kami sudah melibatkan banyak pemangku kepentingan, termasuk International Labour Organization (ILO), agar RUU ini benar-benar memberikan kepastian dan perlindungan hukum yang layak bagi para PRT,” kata Bob Hasan dikutip NU Online dari Antara.


Ia menjelaskan, pembahasan di Panja RUU PPRT masih akan terus bergulir secara intensif hingga pekan depan. Salah satu agenda terdekat adalah menggelar RDP dengan pihak aplikator penyedia jasa pekerja rumah tangga berbasis daring (online), mengingat fenomena penyaluran tenaga kerja rumah tangga kini juga berkembang melalui platform digital.


Bob memastikan proses penyusunan RUU PPRT akan rampung tepat waktu. Ia menargetkan seluruh rangkaian pembahasan di DPR dapat selesai sebelum memasuki tahun 2026.


"Target rampung pokoknya akhir tahun ini jadi," tegasnya.