Jejaring Ulama Nusantara Menjadi Kekuatan Utama Pergerakan Nasional
Ahad, 11 Januari 2015 | 04:52 WIB
Pati, NU Online
Pada akhir abad ke-19, ulama-ulama pesantren di Nusantara makin masif berkonsolidasi. Selain di Makkah Madinah (Haramain) konsolidasi juga dilakukan di Nusantara, misalnya di Aceh tahun 1873 telah mencetuskan ide “Jumhuriyah Indonesia” (Republik Indonesia) dan disebarkan hingga ke Papua untuk membangun cita-cita kesatuan tanah dan bangsa Indonesia.<>
Jejeraing ini pernah dibangun dalam jejaring ‘Busur Laut Nusantara’ pada abad ke-14 hingga abad ke-16. Demikian disampaikan Zainul Milal Bizawie dalam seminar nasional Yayasan dan Pesantren Salafiyah Kajen, Pati Jawa Tengah, Jum’at (9/1) kemarin.
Ditambahkan, jejaring ulama-santri yang telah menegakkan Indonesia sebenarnya hasil dari proses panjang terbentuk dan terkonsolidasinya jejaring ulama Timur Tengah dan Nusantara sebelumnya.
Memasuki paroh kedua abad ke-19 dan awal abad ke-20, semakin banyak ulama tanah Jawa yang menuntut ilmu di tanah suci. Informasi tentang biografi mereka lebih banyak dan tercatat dengan cukup detail di dalam kitab-kitab sanad dan buku-buku biografi Arab. Banyak dari mereka telah mendapat ijazah (sertifikasi) dan mengajar di Masjidil Haram. Hal tersebut secara tidak langsung, menjadikan mereka di tanah suci sebagai penerus jejaring ulama nusantara yang telah dirintis oleh para ulama Nusantara sebelumnya.
Penulis buku Syaikh Mutamakkin ini lebih jauh melanjutkan, bahwa Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan, seorang mufti agung Makkah pada abad ke-19 yang telah membuka pintu bagi ulama-ulama nusantara untuk berkiprah dan memancangkan komunitasnya di Haramain dan berjejaring dengan ulama-santri di Nusantara.
Sebagian ada yang menyemai di Haramain untuk menampung para ulama-santri yang datang dari berbagai penjuru nusantara, sebagian kembali ke Nusantara untuk menjadi poros dan mengokohkan bergeraknya jejaring yang telah dibangun. Dari Kalimantan muncul Syekh Khatib As Sambasi, dari Sumatera muncul Syekh Ismail al Minangkawi dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi, dari Jawa muncul Syekh Nahrawi al Banyumasi, Syekh Juned al Batawi, Syekh Nawawi al Bantani, Syekh Mahfudz Termas, Syekh Abdul Karim al Bantani, dan dari Nusa Tenggara Barat menghadirkan Syekh Abdul Gani Bima pada abad ke-19 yang berada di Masjidil Haram Makkah menjadi poros bagi ulama-ulama nusantara.
Poros ulama nusantara di Haramain tersebut berhasil membentuk soliditas ulama. Muncullah nama-nama semisal Syekh Sholeh Darat, KH Ahmad Rifai’i Kalisalak, Syekh Khalil Bangkalan, Syekh Hasyim Asy’ari,Syekh Tolhah Cirebon, dan lain sebagainya yang menjadi jangkar ulama di nusantara yang menggerakkan poros tersebut, berkiprah di pesantren, surau atau dayah.
Mereka tidak hanya menimba ilmu di Haramain, tapi juga di Kairo Mesir sehingga terdapat diskursus intelektual dan perbedaan garis perjuangan. Meskipun demikian, karena memiliki kesamaan semangat anti kolonial, diskursus dan perpedaan tersebut mampu diredam meskipun percikan-percikannya tentu saja mempengaruhi arah dan warna perjuangannya di kemudian hari, khususnya dalam tradisi keberagamaan.
Dan sejarah mencatat, simpul-simpul utama jejaring ulama tersebut terkonsolidasi dalam suatu poros untuk menegakkan bangsa Indonesia. Syekh Hasyim Asy’ari berupaya mensinergikan simpul-simpul utama ulama, habaib, dan kelompok pembaharu (intelegensia/cendekiawan) untuk bergerak bersama. Melalui jejaring gurunya, koleganya dan muridnya, simpul-simpul itu membangun soliditas dan kekuatan utama pergerakan nasional hingga tegaknya NKRI. Berikut akan dipaparkan bagaimana terbentuk dan terkoneksinya jejaring itu menjadi kekuatan baru yang nantinya membungkam kolonial.
Seminar yang bertema “Peran Santri dalam Pembangunan Berbangsa dan Bernegara” ini juga mendatangkan KH. Muhammad Yusuf Chudlori sebagai narasumber. Kiai yang akrab dipanggil Gus Yus ini mengatakan “dulu para kiai adalah kaya karena mereka selain macul langit (mujahadah) pd malam hari, paginya macul bumi (berinterpreneur).” Para Kiai dapat menjadi teladan dalam menjalani kehidupan karena mereka dapat mempraktekkan kehidupan yang seimbang. Memberi contoh bagaimana berhubungan dengan Allah swt, dengan alam dan sesama manusia.
Jihad santri terdahulu juga dapat direfleksikan dan diaktualkan dalam Jihad untuk pembangunan. Hal ini utarakan oleh narasumber lain, yaitu Dr. Ghofur. Bahwa jihad dalam rangka memenuhi kebutuhan sangat penting dilakukan. Dr ghoffur mengatakan “perlunya jihad ekonomi untuk kemandirian pesantren”. Ia menegaskan dengan kemandirian, para santri dapat bertahan dan berperan dalam membangun ekonomi bangsa.
Sementara itu, Imam Nahrawi sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, memberikan wejangan kepada para Santri sekaligus Pemuda. “Santri harus kuat lahir batin, karenanya penting untuk olah raga dalam memperkuat olah batin”, tandas mantan Sekjen PKB itu.
Selain mengadakan Seminar dalam Pekan Maulid 1436 H ini, melalui ikatan alumninya, yaitu Ikatan Keluarga Alumni Salafiyah (IKHLAS) Kajen, juga mengadakan beberapa acara besar, diantaranya Haul Al Maghfurlah KH. Siraj ke-88, Harlah Madrasah Salafiyah Kajen dan Temu Alumni Nasional ke-3. Acara ini berlangsung selama tujuh hari di Komplek Madrasah Salafiyah Kajen Margoyoso Pati.
Rangkaian acaranya tersebut ialah. Senin (5 Januari) : pembagian sembako. Selasa (6 Januari) : pengobatan masal. Kamis (8 Januari) : gebyar seni dan olahraga se eks-karesidenan Pati. Jum'at (9 januari) : kirab budaya dan jalan santai yang diikuti kurang lebih 5000 pelajar. Seminar Nasional dan orasi kebangsaan oleh Menpora. Sabtu (10 januari) : temu alumni nasional yayasan salafiyah kajen ke-3 dan Kajen bershalawat. Ahad (11 Januari) : tahtimul qur'an, ziarah dan pengajian akbar. (Waji/Anam)
Foto: Milal Bizawie bersama Abdul Ghofur Maimun