Aksi Rakyat Bentuk Protes terhadap Ketidakadilan Ekonomi, Sosial, dan Politik
Selasa, 2 September 2025 | 16:00 WIB
Jakarta, NU Online
Program Studi Sosiologi Universitas Nasional (Unas) menilai gelombang demonstrasi yang terjadi di berbagai kota sepanjang Agustus 2025 tidak bisa dipahami semata sebagai kerusuhan atau aksi anarkis.
Dalam kertas posisi yang diterima NU Online, mereka menyebut peristiwa ini merupakan bentuk ekspresi politik rakyat yang dipicu akumulasi ketidakadilan sosial-ekonomi dan lemahnya kanal representasi politik.
Protes nasional bermula dari kematian Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang tewas setelah terlindas kendaraan taktis Brimob. Affan kemudian menjadi simbol kerentanan pekerja urban yang hidup dalam ketidakpastian tanpa perlindungan sosial.
"Affan mewakili nasib jutaan pekerja perkotaan dengan penghasilan tidak tetap, beban hidup tinggi, dan ketiadaan jaminan sosial. Tragedi ini memantik amarah rakyat," demikian salah satu poin dalam kertas posisi Unas.
Unas menegaskan, aksi yang meluas ke berbagai kota tidak muncul secara spontan. Pola ini mengulang repertoar protes sejak Reformasi 1998: mahasiswa sebagai pemantik, lalu diikuti lapisan masyarakat lain, hingga bentrokan dengan aparat yang menjadi klimaks.
Dalam banyak titik, protes berubah menjadi perusakan simbol negara, penyerangan fasilitas publik, hingga properti pribadi tokoh politik.
"Ini menunjukkan bahwa protes tidak sekadar ekspresi emosional, melainkan pesan politik yang terstruktur," dikutip dari keterangan tersebut.
Menurut keterangan kertas posisi Unas ada sejumlah faktor struktural yang memperkuat eskalasi protes.
Pertama, urbanisasi besar-besaran melahirkan biaya hidup tinggi dan solidaritas sosial yang rapuh. Kedua, krisis kelas menengah, dari 57,3 juta jiwa (2019) turun menjadi 47,9 juta (2024), membuat banyak orang rentan jatuh miskin.
Ketiga, gelombang PHK yang menurut data Kementerian Ketenagakerjaan mencapai 42.385 kasus hingga Juni 2025, naik 32 persen dibanding tahun sebelumnya. Keempat, partai politik gagal menjadi penyalur aspirasi rakyat, karena lebih sibuk dengan transaksi politik.
Kelima, media arus utama lebih menekankan label "anarkis", sementara media alternatif menyoroti sisi kemanusiaan terutama kasus Affan.
Menurut Unas teknologi digital mempercepat mobilisasi massa. Video amatir dan siaran langsung di media sosial memperluas solidaritas lintas kota, dari Jakarta hingga Makassar dan Yogyakarta.
"Amarah rakyat bukan hanya berakar dari satu kejadian, melainkan dari akumulasi ketidakadilan yang disaksikan dan dibagikan secara masif di ruang digital," tegas kertas posisi itu.
Prodi Sosiologi Unas menilai, rangkaian demonstrasi 2025 adalah pertanda serius runtuhnya kontrak sosial antara negara dan warga urban. Respons negara yang cenderung represif seperti penggunaan istilah “anarkis” dan kebijakan tembak di tempat dinilai justru memperlebar jarak antara rakyat dan pemerintah.
"Yang diperlukan bukan represif, melainkan kanal deliberatif, reformasi kebijakan sosial-ekonomi, pendekatan de-eskalasi oleh aparat, serta revitalisasi masyarakat sipil," tulis Unas.
Kertas posisi ini mengingatkan pemerintah agar melihat demonstrasi sebagai bahasa terakhir rakyat untuk didengar. Negara diminta membuka ruang dialog, memperbaiki kebijakan sosial-ekonomi, dan memastikan pola pengamanan aksi lebih manusiawi.
"Hanya dengan cara itu negara dapat hadir sebagai pelindung, bukan penindas," pungkas pernyataan tersebut.